Oleh: Forum Komunikasi
Bagian 4/4 : Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Belakangan terbukti, “umpan” isu Ambalat tak disambar mahasiswa yang sadar bahwa agenda BBM lebih membumi daripada sengketa perbatasan yang didramatisasi.
Di sejumlah kota, posko ganyang Malaysia praktis dimotori organisasi yang “tak jauh” dari baju loreng: Pemuda Pancasila, FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI) dan Resimen Mahasiswa. Yang disebut terakhir, kendati semakin tidak populer, tetapi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, masih eksis dengan mengusung isu ini.
Memang sulit untuk tidak mengaitkan maraknya sentimen anti-Malaysia dengan agenda politik militer di Indonesia. Ini bukan korelasi yang dicari-cari. Dalam tulisan sebelumnya, telah diurai agenda-agenda lain yang “menumpangi” isu Ambalat.
Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI, di mana Angkatan Laut dan Angkatan Udara akan memiliki kans yang sama dengan Angkatan Darat dalam perebutan kursi panglima bila konflik Ambalat membesar.
Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer yang selama tahun 2005 dan 2006 ini akan meningkat tajam melebihi anggaran kesehatan, misalnya. Dan yang ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua.
Para think tank di Markas Besar TNI sudah berhitung, bahwa sentimen anti-Malaysia, bila dikelola dengan baik, akan berdampak signifikan terhadap agenda politik militer di daerah konflik seperti Aceh atau Papua. Sebab, baik Ambalat atau Aceh, sama-sama menggunakan selling point “nasionalisme” untuk meraih dukungan publik.
Apalagi, sepanjang penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh, publik di Indonesia cenderung permisif dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Isu HAM menjadi barang mewah bila dihadapkan dengan rasa “nasionalisme” dan jargon keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sentimen “nasionalisme”, disengaja atau tidak, telah dirasakan manfaatnya oleh TNI sebagai suaka—kalau tidak mau disebut tempat persembunyian—yang efektif dari tuntutan moral untuk menegakkan HAM.
Sulit membayangkan, dalam suasana di mana Indonesia dan Malaysia berseteru secara militer, kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Semanggi atau Trisakti—jangankan Aceh—akan diungkit oleh publik dan media.
Padahal, sepanjang penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh, misalnya, berbagai kejahatan perang telah dilakukan. Mulai dari aksi vandalisme dengan mencoreti rumah warga yang dituduh GAM, hingga pembunuhan terhadap warga sipil non-kombatan (extra-judicial execution). Itu belum termasuk kasus penyiksaan tahanan, kekerasan terhadap warga masyarakat, intimidasi hingga politik stigmatisasi dan diskriminasi terhadap warga Aceh.
Masih ingat bagaimana Gubernur Sutiyoso memperingatkan warga Jakarta agar mewaspadai setiap orang Aceh yang tinggal atau menetap di lingkungan mereka, sepanjang Mei 2003?
Catatan kejahatan kemanusiaan di Aceh ini tak pernah mengusik ketenangan publik. Sebab, selain tidak pernah dimuat secara jujur oleh media massa, faktor lain yang juga berperan adalah tafsir sempit tentang nasionalisme dan NKRI. Nasionalisme dalam konteks Aceh atau Papua (dan Timor Timur dulu) seperti sebuah blanko cek yang kosong, yang memungkinkan si penerimanya (militer) mengisi sesuka hati.
Dalam kasus Ambalat pun, ekspresi nasionalisme dilakukan dengan membakar bendera Malaysia, latihan bela diri serta membuka posko relawan yang katanya siap dikirim ke garis depan.
Begitulah, nasionalisme telah dimanipulasi menjadi mantra suci yang sebenarnya dipupuk dari rasa dendam karena perlakuan Kuala Lumpur terhadap tenaga kerja Indonesia. Plus, faktor kecemburuan ekonomi yang tak ditelisik lebih jauh akar persoalannya. Tak ada yang pernah melihat “kemiskinan” Indonesia dibanding Malaysia dari kacamata maraknya korupsi di negeri sendiri.
Tapi—sebagaimana Soekarno menggunakan politik konfrontasi dengan Malaysia untuk menciptakan musuh bersama dan mengalihkan publik dari persoalan himpitan ekonomi di dalam negeri—ganyang Malaysia sudah kadung menjadi ikon ekspresi nasionalis sejati. Yang tidak anti-Malaysia berarti bukan patriot bangsa. Dan media punya andil besar dalam penyesatan ini.
Agenda di Aceh
Di tengah membuncahnya sentimen anti-Malaysia inilah, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda, Mayor Jenderal Endang Suwarya meminta tambahan pasukan untuk meneruskan operasi militer di Aceh guna memerangi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tambahan pasukan tempur yang kemungkinan adalah pengalihan fungsi zeni ini, akan diaktifkan bersamaan dengan berakhirnya masa tanggap darurat, 26 Maret mendatang dan hengkangnya militer/lembaga asing.
Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) pun, juga hendak mengaktifkan Tim Pemburu GAM.
Padahal, siapapun tahu, otoritas politik di Jakarta sedang dalam masa penantian untuk melanjutkan dialog damai dengan GAM di Helsinki, April mendatang. Dialog yang akan digelar adalah dialog ronde III yang oleh fasilitator Crisis Management Initative (CMI) disarankan agar selama periode ini, keduabelah pihak menahan diri.
Tapi agenda menambah pasukan dan penggempuran yang nanti akan dilakukan, jelas akan menyulitkan tim perunding yang terdiri dari para menteri kabinet Indonesia Bersatu itu. Situasi semakin sulit bagi jalannya dialog, bila sentimen Ambalat dilecut-lecutkan yang membuat posisi TNI di atas angin dalam mempengaruhi opini publik dengan “menjual” nasionalisme. Tanpa Ambalat pun, publik cenderung dikondisikan menolak proses perundingan damai. Apalagi, ditingkahi Ambalat.
Agenda GAM
Tapi memanipulasi isu Ambalat sejatinya bukan cuma monopoli satu pihak. Dalam tubuh militer GAM pun, ada libido untuk mendorong agar terjadi clash senjata antara Tentara Diraja Malaysia dan militer Indonesia. Targetnya, agar tercipta ruang gerak yang leluasa bagi GAM untuk melakukan konsolidasi. Dalam hitungan GAM, TNI tak mungkin menghadapi pertempuran di dua front sekaligus. Bila pecah perang dengan Malaysia, sayap militer GAM akan diuntungkan secara taktis dan sayap politiknya akan memiliki posisi tawar dalam perundingan.
Java Oorlog alias Perang Jawa (1825-1830) membuktikan, Belanda tak dapat menghadapi Diponegoro dan Imam Bonjol sekaligus. Salah satu harus diajak berunding. Dan mereka memilih berdamai dengan kaum Padri di Sumatera Barat, untuk mengonsentrasikan pukulan ke Gua Selarong.
Saat itu, Imam Bonjol tak mengambil kesempatan dengan terus membuka front di Sumatera Barat. Sesuatu yang belakangan mendatangkan sesal, karena setelah selesai dengan Java Oorlog, Belanda ternyata membawa serta panglima perang Diponegoro yang telah membelot, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, untuk memerangi kaum Padri (walaupun belakangan Sentot membelot lagi ke kubu Bonjol).
Para lulusan Tidar (Magelang) tentunya juga membaca buku sejarah, bagaimana pasukan Nazi Jerman harus menerima kekalahan karena serakah membuka front di Eropa Barat, Rusia dan Afrika sekaligus. Divisi-divisi panser dan angkatan udara mereka (Luftwafe) harus dipecah dan menyedot anggaran yang tak sedikit selama Perang Dunia II (1941-1945).
Politik gila perang-nya Hitler, telah membuat prajuritnya sengsara menghadapi Inggris di front Eropa Barat, pasukan sekutu di front Afrika Utara dan pasukan Stalin di Stalingrad.
Tentu saja situasinya tak sedahsyat itu. Tetapi, setidaknya nyaris sepola. Bermain api dengan menyulut sentimen perang di Ambalat, bisa menjadi bumerang bagi TNI sendiri. Sulit membayangkan, Muzakir Mannaf dan pasukannya tidak mengambil keuntungan secara militer dari perang Indonesia versus Malaysia. Bila pecah perang, maka Malaysia dipastikan akan memainkan peran signifikan bagi masuknya senjata ke Aceh melalui Selat Malaka. Sebab, Malaysia pun berkepentingan TNI menghadapi dua front sekaligus.
Sulit juga membayangkan Kelly Kwalik dan gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan berpangku tangan di masa-masa perang itu. Bila ini terjadi, maka TNI (bak Nazi Jerman), menghadapi tiga front sekaligus: di Ambalat, di Aceh dan di (mungkin) Papua. Kalau sudah begini, jangan-jangan, perang Ambalat pun bukan perangnya orang Aceh atau orang Papua.
Sejarah mencatat, suku Kurdi memanfaatkan sewindu perang Irak-Iran (1980-1988) untuk memperkuat diri dan melawan Baghdad. Pilihan yang harus dibayar mahal. Sebab, ketika perang usai, Saddam Husein melancarkan politik balas dendam dengan menggunakan senjata kimia untuk membantai warga Kurdi.
Kalau orang Aceh dan orang Papua tak mendukung perang Indonesia melawan Malaysia, maka bisa dipastikan, situasi konflik di tanah air pun akan menjadi runyam di masa-masa yang akan datang. Sekali lagi, contoh kasus Kurdi adalah gambaran ekstrem, kendati kebijakan seperti yang dilakukan Gubernur Sutiyoso dengan menstigmatisasi setiap warga Aceh, adalah bibit yang bisa berbuah negatif di belakang hari.
Jadi, masih mau perang di Ambalat? [tamat]
--------------------------------------------------------------------------------
Bagian 3/4 : Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan BBM (bahan bakar minyak) sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Setidaknya ada beberapa isu yang akan diurai:
Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI. Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer; dan ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua.
Sebagaimana diketahui, posisi Panglima TNI akan segera diperebutkan oleh ketiga kepala staf angkatan. Jenderal Endriartono Sutarto (Akabri 1971) yang kini memegang jabatan Panglima sudah mengalami masa perpanjangan dua kali dan dua kali pula sudah mengajukan pengunduran diri. Saat itu, di atas kertas, peluang terbesar akan jatuh kepada mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu (Akabri 1973) sebagaimana yang diinginkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum turun dari jabatannya.
Namun Presiden Yudhoyono agaknya tak terlalu tertarik memasang Jenderal Ryamizard yang oleh orang ramai dikenal berhaluan ultra-nasionalis. Tapi para kepala staf angkatan yang lain, Laksamana Bernard Kent Sondakh, 57 tahun, (Akabri 1970) dan Marsekal Chappy Hakim, 58 tahun, (Akabri 1971) segera memasuki usia pensiun sehingga tak mungkin menunjuk mereka sebagai Panglima.
Sementara, mengangkat jenderal yang lain juga mustahil sebab menurut Undang-Undang, jabatan Panglima TNI hanya boleh dipegang oleh mereka yang pernah memegang jabatan kepala staf angkatan. Entah itu Angkatan Darat, Angkatan Laut, atau Angkatan Udara.
Lantas Februari lalu, Presiden Yudhoyono pun mengangkat para kepala staf baru, yaitu Laksamana Madya Slamet Soebijanto (Akabri 1973) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Marsekal Madya Djoko Suyanto (Akabri 1973) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara, dan Letnan Jenderal Djoko Santoso (Akabri 1975) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Tiga-tiganya berbintang tiga.
Sementara di saat yang sama, Presiden Yudhoyono tetap mempertahankan Jenderal Endriartono Sutarto yang sudah berusia 58 tahun sebagai Panglima TNI. Langkah ini sudah terbaca sebagai sikap Presiden yang menginginkan Panglima TNI jatuh ke tangan salah satu kepala staf yang baru hingga waktunya tiba, daripada mengangkat Jenderal Ryamizard, 55 tahun, yang saat ini menganggur. Waktu menganggur yang sangat lama bila merujuk UU No 34/2004 di mana usia pensiun perwira tinggi diolor hingga 58 tahun.
Dus, dengan gejala ini, sulit dipungkiri jika kini terjadi kompetisi yang ketat di antara tiga kepala staf angkatan kendati Presiden Yudhoyono diprediksi akan mempertahankan tradisi pengangkatan Panglima TNI dari kalangan Angkatan Darat. Tanpa Ambalat, peluang Angkatan Darat makin tak terbendung karena masalah Aceh juga akan digunakan sebagai kartu politik untuk bargain (tawar-menawar) di antara elit militer dan otoritas politik.
Nah, karena itu, agak berat disangkal, bahwa medan sengketa Ambalat yang kebetulan berada di wilayah lepas pantai dan perairan itu, telah meningkatkan bargaining position (posisi tawar) TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Apalagi, kedua kepala staf angkatan ini, kendati sama-sama bintang tiga, namun keduanya lebih senior dua tahun dibanding KSAD Letjen Djoko Santoso.
Sejatinya Angkatan Darat sendiri agak salah tingkah menghadapi medan konflik Ambalat. Sebab, mereka tahu, ini adalah “lahannya” Angkatan Udara, terutama Angkatan Laut. Sejujurnya, infanteri tak terlalu dibutuhkan di Ambalat dibanding fregat, kapal selam atau pesawat tempur yang akan menentukan menang kalahnya pertempuran, terutama di babak-babak awal peperangan. Pada fase ini, biasanya pertempuran terjadi di titik di mana gesekan akan terjadi di antara kapal perang dan pesawat tempur. Kalau sudah begini, maka posisi KSAL dan KSAU tak lagi menjadi pemain figuran; seperti di Aceh.
Dus, bila kisruh Ambalat ini berlanjut (baca: dilanjutkan) hingga masa di mana Panglima TNI benar-benar harus diganti, maka peluang ketiga kepala staf angkatan boleh dibilang berimbang.
Anggaran dan Belanja Militer
Dimensi lain di balik membesarnya masalah Ambalat adalah agenda peningkatan anggaran pertahanan dan belanja militer. Sekali lagi, tak terbatas pada pengalihan isu kenaikan BBM. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di atas pesawat yang membawanya terbang ke Kalimantan Timur, 9 Maret lalu, sudah terang-terangan mengakui hal ini.
Anggaran pertahanan sendiri setiap tahun terus mengalami peningkatan dari Rp 11,53 triliun di tahun 2003, meningkat menjadi Rp 13,2 triliun pada tahun 2004. Peningkatan ini menggunakan Aceh sebagai dasar argumen selain dana darurat militer dan darurat sipil yang diperkirakan telah menelan biaya Rp 5 triliun lebih.
Nah, sebelum muncul Ambalat pun, untuk tahun anggaran 2005 ini, pagu untuk Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI sudah digenjot lagi menjadi Rp 22 triliun dari permintaan semula Rp 45 triliun. Nah, bila Ambalat membesar, bukan mustahil, akan ada revisi anggaran untuk alokasi ini.
Lalu mau tahu berapa yang diajukan Departemen Pertahanan dan TNI untuk tahun 2006 nanti? Departemen Pertahanan call tinggi dengan memasang angka Rp 56 triliun. Boleh percaya boleh tidak, jumlah ini tiga kali lipat dari nilai subsidi BBM yang dicabut 1 Maret lalu.
Memang, dengan angka sefantastis itu (kira-kira 7 kali lipat anggaran kesehatan di APBN 2005), memang tidak mungkin Departemen Pertahanan menggunakan isu Ambalat untuk menambah nominalnya. Yang mungkin dilakukan adalah menggunakan masalah Ambalat untuk memperkuat basis argumen, agar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atau DPR kelak tidak terlalu rewel mempersalahkan tingginya angka itu.
Dan boleh bertaruh, bila hari ini anggota DPR ditanya tentang peningkatan anggaran militer dalam konteks Ambalat, rata-rata mereka akan memberikan kabar yang baik bagi Medan Merdeka Barat (Dephan) dan Cilangkap (Mabes TNI).
Catatan kita semua menunjukkan bahwa ekskalasi konflik selalu berbanding lurus dengan melonjaknya anggaran militer. Saat status darurat yang terus menerus diperpanjang di Aceh, DPR telah menyetujui peningkatan anggaran hingga 15 persen dari tahun 2003 ke 2004. Itu adalah persentase yang “moderat” bila mengingat yang dihadapi adalah ‘non-state-actor enemy’ seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Lantas bisa diangankan, berapa persentase peningkatan anggaran yang dibutuhkan bila yang dihadapi adalah ‘state-actor enemy’ seperti Malaysia, yang anggaran militernya—dibanding Produk Domestik Bruto—lebih besar tiga 3 kali lipat dibanding Indonesia. Dibandingkan APBN-nya pun, Malaysia tetap lebih unggul dari sisi persentase melawan Indonesia. Untuk tahun 2004 saja, belanja pertahanan Malaysia mencapai 9,08 persen dari APBN mereka, sementara Indonesia harus puas di angka 5,72 persen.
Kisruh Ambalat, disengaja atau tidak, jelas memberikan kesempatan bagi para pelobi anggaran militer untuk menjebolkan pertahanan DPR yang bertindak sebagai benteng terakhir pertahanan dana publik.
Kini, lebih gamblang terlihat, bahwa isu Ambalat (baca: ganyang Malaysia) yang tiba-tiba membesar dan menyebar di mana-mana, tak hanya “dinikmati” oleh otoritas pro-kenaikan harga BBM, tetapi melibatkan spektrum yang lebih luas.
Saking luasnya, hingga spektrum ini mencakup juga agenda politik di Aceh dan Papua.
Ah, terlalu mengada-ada? [/acehkita.com]
--------------------------------------------------------------------------------
Bagian 2/4 : Hampir sulit dibantah, bahwa seruan konfrontasi dengan Malaysia yang dilancarkan Presiden Soekano antara Januari 1963 hinggga Mei 1966 tak lebih dari urusan menyelematkan wajah kebijakan dalam negeri yang mulai amburadul. Apalagi kekuatan tentara tercerai berai, terutama pasca-1965. Dengan menciptakan musuh bersama di luar, Soekarno berharap loyalitas para jenderalnya bisa dipertahankan.
Sialnya, Soeharto yang saat itu memegang Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), tidak menganggap Malaysia sebagai musuh. Tanpa sepengetahuan Bung Karno, bersama Ali Moertopo, Soeharto menggalang ‘diplomasi bawah tangan’ dengan para politisi di semenanjung Malaka.
Dalam derajat tertentu, ada polarisasi yang saat itu sudah mengerucut: mendukung politik konfrontasi sama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), setidaknya komunis. Pro-Chin Peng!
Dengan fakta insubordinasi (ketidakpatuhan) di kalangan TNI Angkatan Darat ini, maka proyek konfrontasi dengan Malaysia sudah mengandung bias kepentingan mempertahankan kekuasaan Soekarno sendiri. Apalagi, jangankan negara-negara lain, Uni Soviet pun tak mendukung Komando Dwikora untuk ganyang Malaysia sebagaimana Komando Trikora di Irian Barat.
Memang masih ada China yang menyokong konfrontasi via PKI. Tetapi hengkangnya Uni Soviet, jelas mengurangi “kadar ideologis” dari kebijakan ini. Apalagi, kondisi perekonomian nasional yang saat itu bisa dikata bangkrut, turut melemahkan citra ganyang Malaysia sebagai misi politik ‘cinta tanah air’.
Mengalihkan Isu BBM?
Ya dan Tidak
Lantas yang terjadi hari ini, seperti mengulang sejarah. Orang ramai percaya tentang pengalihan isu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di balik sengketa Ambalat. Ada benarnya, ada juga tidaknya.
Perspektif pengalihan isu sebenarnya merujuk pada intensitas pemberitaan media massa terhadap topik tertentu. Kendati tak mustahil, tetapi sulit membayangkan pemerintah—yang sedang tidak populer—bergerilya dari ruang redaksi ke ruang redaksi untuk meminta para wartawannya mengganti berita BBM ke Ambalat.
Memang benar, hanya dua hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan kenaikan harga BBM, koran-koran sudah mengganti berita utama (headline) dan foto halaman muka mereka. Tapi ini lebih merupakan “permintaan pasar” daripada desain politik.
Ambil contoh Kompas, sebuah koran nasional yang sangat berpengaruh dengan oplah lebih dari setengah juta ekspemplar per hari. Tanggal 1 Maret, Kompas memajang foto antrean BBM di salah satu pom bensin dengan headline “Harga BBM Akhirnya Naik”.
Keesokannya, tanggal 2 Maret, koran ini memajang foto aksi demonstrasi di Denpasar yang mengecam kenaikan harga BBM. Karena fotonya sudah “keras”, maka headline-nya pun agak “lunak”: “Berikan Kompensasi Insentif kepada Dunia Usaha Nasional”.
Hari itu, sengekta Ambalat belum muncul di halaman satu. Satu-satunya berita yang berhubungan dengan Malaysia di halaman satu adalah dimulainya razia TKI (tenaga kerja Indonesia) ilegal. “Razia Dimulai, 131 Pekerja Ilegal Ditangkap,” demikian judulnya.
Berita tentang Ambalat di halaman satu baru muncul pada hari Kamis, 3 Maret 2005 yang mewartakan tentang disiagakannya tiga kapal perang—yang salah satunya bernama KRI Rencong (senjata tradisional Aceh). Tetapi judul berita utamanya masih soal kenaikan BBM: “Rumah Jusuf Kalla Didemo Mahasiswa”. Sementara foto yang dipasang adalah gambar para TKI yang terjaring razia di Klang, dekat Kuala Lumpur.
Sejak hari itu, berita Ambalat tak pernah absen dari halaman satu Kompas.
Keesokan harinya, sebuah foto pesawat Nomad milik TNI AL yang terbang di atas Laut Sulawesi dipajang seukuran lima kolom. Foto yang sama juga dipajang harian Media Indonesia, saudara kandung Metro TV yang—entah apa maksudnya—memutar filler persiapan perang diiringi lagu Maju Tak Gentar dan tulisan berwarna merah: “Pertahankan Ambalat”.
Foto paling dramatis yang dipajang Kompas (8/3) dan segera menggeser isu kenaikan BBM adalah saat Presiden Yudhoyono melihat batas cakrawala melalui teropong di anjungan KRI Karel Satsuit Tubun di perairan Ambalat dengan judul besar selebar lima kolom: “Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia”.
Disusul keesokan harinya (9/3) dengan foto dua prajurit Marinir Brigif I Surabaya yang bersiaga di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimatan Timur dengan judul headline “Ketegangan di Daerah Perbatasan Mereda”.
Kita belum tahu, apakah penarikan sejumlah armada tempur Malaysia di Ambalat dan disusul dengan penarikan kapal TNI AL benar-benar akan meredakan hawa perang yang ikut dihembuskan media massa. Yang jelas, di tingkat wacana publik, topik kenaikan BBM tak lagi difavoritkan menjadi berita atau foto utama.
Tentu saja otoritas pro-kenaikan BBM menikmati ini sebagai pengalihan isu, tetapi sulit juga membayangkannya sebagai desain strategi PR (public relation) yang rapi. Konon lagi desain politik yang sistemik. Sebab, anggota parlemen yang anti kenaikan BBM-pun latah meramaikan demo ganyang Malaysia, yang justru semakin mengurangi jatah berita BBM di halaman koran atau slot berita TV.
Ambalat: Agenda Politik Non-BBM
Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan BBM sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Setidaknya ada beberapa isu yang akan diurai:
Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI. Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer; dan ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua. (acehkita.com)
Bagian 1/4 - Hotel Station, Kuala Lumpur, 16 Agustus 1945. Datuk Jaafar sudah membulatkan tekad. Di hadapannya, petinggi militer Jepang tengah menyodorkan dua opsi: Malaysia merdeka atau bergabung dengan Indonesia—yang baru keesokan harinya memproklamasikan diri.
Menurut Chin Peng dalam My Side History yang resensinya dimuat Kompas, 20 Maret 2004, Datuk Jaafar dan kawan-kawannya yang hadir pada pertemuan hari itu memilih bergabung dengan Indonesia.
Kok bisa?
Menurut Peng, inilah satu-satunya cara agar pasukan pendudukan Jepang tidak menggabungkan mereka dengan China.
"Proses penggabungan Malaya ke Indonesia baru saja akan diresmikan, ketika mendadak terdengar berita dari radio, Kaisar Hirohito menyerah kepada Sekutu. Mendengar hal ini, seluruh peserta pertemuan langsung bubar…" tulis Ian Ward dan Norma Miraflor yang merekam kesaksian Peng.
Ceritanya lalu menjadi lain. Malaysia menjadi negara merdeka pada 31 Agustus 1957 setelah Inggris–yang menerimanya dari Jepang—merestui kemerdekaan itu. Tunku Abdul Rahman menggelorakan darah 50.000 orang di Bandar Hilir dan mengumumkan kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang terkesan hibah dari London ini membuat Bung Karno tak enak hati. Apalagi bentuk federasi Malaysia terkepak hingga Sarawak yang berbatasan langsung dengan Borneo.
Keresahan Soekarno memuncak saat meletusnya pemberontakan di Brunei pada Desember 1962. Adalah AM Azahari, Ketua Partai Rakyat, partai terbesar di wilayah itu, yang berniat membentuk negara merdeka Kalimantan Utara, yang meliputi wilayah bekas jajahan Inggris. Gagasan ini membangkitkan kecurigaan Soekarno terhadap federasi Malaysia dan membuatnya serasa dikepung kekuatan neokolonialisme pro-kapitalisme (blok Barat).
Di tengah deru perang dingin, setelah pembunuhan atas diri John F Kennedy, sahabatnya, Soekarno memang berkiblat ke Moskwa, lalu ke Peking.
Bung Karno beranggapan, federalisme Malaysia adalah perpanjangan tangan neokolonialisme Inggris untuk mengepung Indonesia. "Saya akan mengganyang Malaysia sebelum matahari terbit tanggal 1 Januari 1965," teriak Bung Karno.
Itu bukan teriakan kosong. Sebab, Jakarta saat itu memang memiliki skondan di sejumlah wilayah di Malaysia. Mereka adalah para sukarelawan berhaluan komunis yang sebagian adalah warga keturunan China dan sudah mengangkat senjata melawan Inggris, jauh sebelum kelompok-kelompok komunis di Vietnam Selatan (Viet Cong), tersohor.
Tanggal 21 Juli 1964 meletus kerusuhan rasial di Singapura, yang menewaskan 23 orang dan melukai 400 lainnya. Saat itu juga, pasukan Indonesia di bawah Panglima Komando Tempur II Brigjen Soepardjo, melakukan serangan ke Pontian, Negara Bagian Johor dengan dukungan sukarelawan asal Malaysia keturunan Tiong Hoa.
"Penyerbuan tersebut mengalami kegagalan akibat terjadinya inefisiensi pada pasukan Indonesia, dilengkapi nasib baik di pihak pasukan Commonwealth (persemakmuran)," kata Peng.
Di sini, kisah para tentara Indonesia yang digantung menjadi dongeng horor dari generasi ke generasi.
Gagal dengan serangan pertama, tentara Indonesia kembali merangsek di Labis, juga wilayah Johor pada 2 September 1964. Saat itu, tak hanya fregat—seperti KRI KS Tubun yang disiagakan TNI AL di batas Ambalat—tapi juga kapal selam. Salah satu yang melegenda di kalangan TNI Angkatan Laut adalah kapal selam bernama RI Candrasa.
Mesin perang ini dilengkapi 6 peluncur torpedo dan meriam anti serangan udara berkaliber 25 mm laras kembar. Jumlah awaknya mencapai 61 orang yang terdiri dari 8 perwira, 12 bintara, 38 tamtama, dan 3 orang pegawai sipil. Kapal perang ini pensiun (disposed) pada tahun 1971 setelah mengabdi pada politik konfrontasi sejak 1962.
Tapi di saat yang sama, kerusuhan rasial kembali membakar Singapura. Wakil Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak menemui Lee Kuan Yew di Singapura, mewartakan bahwa dalang kerusuhan rasial di negeri Singa itu tak lain adalah Jakarta.
"Bagi saya, tuduhan semacam itu sekadar taktik para politikus yang selalu menempatkan kaum komunis sebagai kambing hitam dari segala macam peristiwa. Sama sekali pihak kami tidak terlibat peristiwa tersebut," kata Peng.
Peng memang orang Malaysia, tetapi buku-bukunya dilarang beredar di negaranya sendiri. Ideologi komunis yang lebih mondial dan tak terlalu hirau dengan batas-batas negara, mengesankan dirinya lebih pro-Jakarta daripada Kuala Lumpur.
Apalagi, Peng sendiri mengakui, politik konfrontasi yang dilancarkan Bung Karno telah menjadikan para gerilyawan komunis Malaysia, lebih kuat karena mempunyai kesempatan merekrut pasukan-pasukan baru. Puncak kekuatan mereka terjadi tahun 1968, ketika Partai Komunis Malaya (Communist Party of Malaya/CPM) memiliki 1.600 gerilyawan dan menikmati blessing in disguise (rahmat terselubung) dari agresifitas politik Soekarno.
Tapi kekuatan ini gembos setelah pemimpin Uni Soviet Nikita Khurshchev memutuskan tak akan membantu perjuangan bersenjata bagi kelompok komunis di negara lain. Di bawah Khurshchev dan Kennedy, hubungan dua adidaya, Amerika dan Soviet, memang digiring lebih hangat. Namun para pentolan militer garis keras menentangnya. Kennedy pun dibunuh.
Di saat yang sama, rejim Soekarno juga telah lengser dan digantikan barisan jenderal Angkatan Darat di bawah Letnan Jenderal Soeharto yang lebih pro-Barat dan sekaligus merekatkan poros ke Kuala Lumpur.
Selama masa perjuangan mengusir Inggris dari semenanjung, Chin Peng sendiri kehilangan hingga 5.000 gerilyawan. "Termasuk 200 orang, diantaranya sejumlah perempuan, telah dihukum gantung sampai mati. Inggris tidak pernah bersedia merinci jumlah korban tersebut dan juga tidak ada yang sampai sekarang ini berani menyebutnya pembunuh haus darah."
Malaysia sebagai Musuh Bersama
Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, sebenarnya konfrontasi dengan Malaysia masih dilanjutkan. Buktinya, pada 27 Maret 1966, Bung Karno menandatangani Keputusan Presiden No 62 yang mengangkat Jenderal AH Nasution sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganjang Malaysia (Wapangsar Kogam). Saking seriusnya dengan politik konfrontasi ini, Nasution diberikan kedudukan setingkat menteri.
Ini semakin menguatkan dugaan bahwa Bung Karno yang mulai tidak populer setelah G30S, menciptakan musuh bersama di luar untuk meredam gejolak di dalam negeri. "Suatu bangsa selalu memerlukan musuh," kata Bung Karno saat menyulut konfrontasi.
Memang politik konfrontasi digalakkan Soekarno pada 8 Januari 1963 setelah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio mengumumkannya secara resmi. Dan saat itu, posisi politiknya masih kuat menyusul kemenangannya di Irian Barat. Tetapi setelah 30 September 1965, hasrat berkonfrontasi dengan Malaysia sepertinya lebih untuk konsumsi dalam negeri daripada sebaliknya.
Soekarno menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat yang tak lagi loyal kepadanya. Dan dia percaya, dengan menciptakan musuh di luar, elemen-elemen ini akan terangsang kembali saraf “nasionalisme” nya. Tentu saja tafsir nasionalisme di sini adalah dukungan politik kepada Soekarno.
Sebab, menjual isu perang dengan Malaysia terbukti manjur untuk menyatukan elemen ideologis yang mulai terfragmentasi pasca-pembubaran Masyumi.
Rumekso Setyadi dan Saiful H Shodiq dari Syarikat Indonesia menulis, mobilisasi ganyang Malaysia telah menyatukan elemen komunis (PKI) dan Islam (Nahdatul Ulama) dalam bentuk latihan-latihan bersama kemiliteran di beberapa pusat pelatihan atau yang saat itu populer dengan sebutan training center (TC).
“Pemuda Rakyat juga mengadakan TC di Kota Gede dan Cebongan dengan instruktur dari Korem 072 dan Kodim Yogyakarta... Pemuda Ansor juga terlibat sebagai peserta dalam TC di Cebongan Sleman,” tulis mereka.
Jumat, 10 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar