Jumat, 10 Juli 2009

Wawancara Ridwan Saidi : Melacak Zionis di Indonesia




Zionis-Yahudi mengakar kuat di Indonesia. Melalui antek-anteknya yang ada di Indonesia, mereka berhasil menguasai sektor ekonomi, terutama bidang perbankan dan merasuki budaya Indonesia…

Sejak mencuatnya kasus grup band Dewa yang diprotes lantaran menginjak-
injak karpet bermotif lafaz Allah saat manggung di salah satu stasiun televisi, obrolan seputar Yahudi, Zionis dan Freemasonry makin rame. Apalagi, pentolan Dewa, Ahmad Dhani, selama ini kerap dijumpai mengenakan kalung Bintang David, simbol Zionis-Israel.

Untuk mengetahui lebih dalam jaringan kaum yang dikutuk Allah SWT itu, berbagai kalangan menggelar berbagai forum diskusi dan dialog tentang Zionis-Yahudi. Selasa (31/5) lalu, misalnya, Kajian Islam Cibubur Pesantren Tinggi Husnayain, Pimpinan KH A Cholil Ridwan menggelar sebuah diskusi yang bertajuk “Bahaya Gerakan YAHUDI di Indonesia”.

Ridwan Saidi, salah seorang pembicara dalam dialog itu, mengaku prihatin dengan kondisi umat saat ini. Sebab, banyak umat yang masih tidak percaya gerakan Zionis-Yahudi. Bahkan sebagian kaum Muslimin memandang tudingan gerakan Zionis-Yahudi sebagai sesuatu yang mengada-ada. Padahal, dampak dari gerakan Zionis ini sangatlah merugikan kaum Muslimin bahkan umat manusia.






“Siapa bilang tidak ada gerakan Zionis-Yahudi di sini. Ada dong, sebab akarnya terlalu kuat di Indonesia. Mereka masuk sejak zaman Hindia Belanda,” ujar pria yang puluhan tahun meneliti dan mengkaji gerakan Zionis-Yahudi itu.

Benarkah akar Zionis-Yahudi begitu kuat di Indonesia? Apa saja indikasi dan buktinya? Memang, tak mudah melacak jejak gerakan berbahaya ini di Indonesia. Apalagi selama ini, Zionis-Yahudi, memang gerakan tertutup. Aktivitas mereka berkedok kegiatan sosial atau kemanusiaan. Namun sasaran dan tujuannya sangat jelas: Merusak kaum lain.

Ibarat orang yang sedang buang angin dengan pelan: tercium baunya, tapi tak nampak wujudnya. Tidak mudah mengendus dan mendeteksi mereka. Namun dengan membuka-buka catatan sejarah, kabut dan misteri seputar jaringan Zionis-Yahudi di Indonesia akan terbuka lebar.

Gedung dan bangunan ternyata tak hanya memiliki estetika, namun juga menyimpan sejarah peradaban, tak terkecuali gerakan Zionis-Yahudi di Indonesia. Dari sejumlah dokumen sejarah, tidak sedikit gedung-gedung yang berdiri dan beroperasi saat ini yang ternyata dulunya pernah menjadi pusat pengendali gerakan Zionis-Yahudi di Indonesia.

Satu di antaranya adalah gedung induk yang saat ini dipakai pemerintah untuk kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam buku “Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia” karangan Adolf Hueken, SJ, disebutkan, awalnya gedung yang kini berperan penting merencanakan pembangunan Indonesia itu adalah bekas loge-gebouw, tempat pertemuan para vrijmetselaar.

Loge-gebouw atau rumah arloji sendiri adalah sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Dulu, kaum Yahudi memakainya untuk tempat “sembahyang” atau “ngeningkan cipta” kepada Tuhan. Karena tempat itu sering dipergunakan untuk memanggil-manggil roh halus, maka masyarakat Indonesia sering menyebut loge sebagai rumah setan.

Sementara Vrijmetselarij adalah organisasi bentukan Zionis-Yahudi di Indonesia (Dulu Hindia Belanda). Ridwan Saidi dalam bukunya “Fakta dan Data Yahudi di Indonesia” menuliskan bahwa pimpinan Vrjmetselarij di Hindia Belanda sekaligus adalah ketua loge.

Vrijmetselarij bukanlah organisasi yang berdiri sendiri. Ia merupakan bentukan dari organisasi Freemasonry, sebuah gerakan Zionis-Yahudi internasional yang berkedudukan di London, Inggris. Pada tahun 1717, para emigran Yahudi yang terlempar ke London, Inggris, mendirikan sebuah gerakan Zionis yang diberi nama Freemasonry. Organisasi inilah yang kini mengendalikan gerakan Zionis-Yahudi di seluruh dunia.

Dalam kenyataannya, gerakan rahasia Zionis-Yahudi ini selalu bekerja menghancurkan kesejahteraan manusia, merusak kehidupan politik, ekonomi dan sosial negara-negara yang di tempatinya. Mereka ingin menjadi kaum yang menguasai dunia dengan cara merusak bangsa lain, khususnya kaum Muslimin.

Mereka sangat berpegang pada cita-cita. Tujuan akhir dari gerakan rahasia Zionis-Yahudi ini, salah satunya, adalah mengembalikan bangunan [b]Haikal Sulaiman yang terletak di Masjidil Aqsha, daerah Al-Quds yang sekarang dijajah Israel. Target lainnya, mendirikan sebuah pemerintahan Zionis internasional di Palestina, seperti terekam dari hasil pertemuan para rabbi Yahudi di Basel.

Seperti disinggung di atas, gedung Bappenas memiliki sejarah kuat dengan gerakan Zionis-Yahudi. Tentu, bukan suatu kebetulan, jika lembaga donor dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang dikuasai orang-orang Yahudi sangat berkepentingan dan menginginkan kebijakan yang merencanakan pembangunan di Indonesia selaras dengan program mereka.

Satu per satu bukti kuatnya jejak Zionis-Yahudi di Indonesia bermunculan. Jejak mereka juga nampak di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat dengan berbagai gedung pencakar langitnya. Menurut Ridwan Saidi, semasa kolonial Belanda, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Jalan Blavatsky Boulevard. Nama Blavatsky Boulevard sendiri tentu ada asal-usulnya. Pemerintah kolonial Belanda mengambil nama Blavatsky Boulevard dari nama Helena Blavatsky, seorang tokoh Zionis-Yahudi asal Rusia yang giat mendukung gerakan Freemasonry.

Siapa Blavatsky? Pada November 1875, pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, mengutus Madame Blavatsky—demikian Helena Balavatsky biasa disebut—ke New York. Sesampainya di sana, Blavatsky langsung mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Sejak awal, organisasi kepanjangan tangan Zionis-Yahudi ini, telah menjadi mesin pendulang dolar bagi gerakan Freemasonry.

Di luar Amerika, sebut misalnya di Hindia Belanda, Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda.

Sejak itu, Theosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia.

Menurut cerita Ridwan Saidi, di era tahun 1950-an, di Jalan Blavatsky Boulevard (kini Jalan Medan Merdeka Barat) pernah berdiri sebuah loge atau sinagog. Untuk misinya, kaum Yahudi memakai loge itu sebagai pusat kegiatan dan pengendalian gerakan Zionis di Indonesia. Salah satu kegiatan mereka adalah membuka kursus-kursus okultisme (pemanggilan makhluk-makhluk halus).

“Jika saat ini saham mayoritas Indosat dikuasai Singtel, salah satu perusahaan telekomunikasi Yahudi asal Singapura, maka itu sangat wajar. Sebab dulunya Indosat adalah sinagog dan kembai juga ke sinagog,” ujar mantan anggota DPR yang pernah menginjakkan kakinya ke Israel tersebut.

Di sepanjang Jalan Juanda (Noordwijk) dan Jalan Veteran (Rijswijk) jejak Zionis-Yahudi juga ada. Dalam sebuah artikel di sebuah media massa yang terbit di Jakarta, sejarawan Betawi Alwi Shahab menyebutkan, pada abad ke-19 dan ke-20, sejumlah orang Yahudi menjadi pengusaha papan atas di Jakarta. Beberapa di antaranya bernama Olislaegar, Goldenberg dan Ezekie. Mereka menjadi pedagang sukses dan tangguh yang menjual permata, emas, intan, perak, arloji, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Toko mereka berdiri di sepanjang Jalan Risjwijk dan Noorwijk.

Masih menurut Alwi, pada tahun 1930-an dan 1940-an, jumlah orang Yahudi cukup banyak di Jakarta. Bisa mencapai ratusan orang. Mereka pandai berbahasa Arab, hingga sering dikira sebagai orang keturunan Arab. Bahkan Gubernur Jenderal Belanda, Residen dan Asisten Residen Belanda di Indonesia banyak yang keturunan Yahudi.

Yahudi di Batavia memiliki persatuan yang sangat kuat. Setiap hari Sabtu, hari suci kaum Yahudi, mereka sering berkumpul. Tempatnya di gedung yang kala itu terletak di sekitar Mangga Besar, Jakarta Barat. Di gedung itu, seorang rabbi, imam kaum Yahudi, memberikan wejangan dengan membaca Kitab Zabur.

“Merantau” sudah menjadi tradisi hidup kaum Zionis-Yahudi. Tidak ada daerah yang tidak mereka rambah. Di luar Jakarta, kaum Yahudi menetap di daerah Bandung, Jawa Barat. Pengamat Yahudi asal Bandung, HM Usep Romli mengatakan, mereka masuk Bandung sejak tahun 1900-an. Untuk meredam resistensi masyarakat Bandung, mereka masuk melalui jalur pendidikan dengan berprofesi sebagai guru. Kebanyakan dari mereka adalah pengikut aliran Theosofi, kaki tangan gerakan Freemasonry internasional. Tempat kumpul mereka berada di sebuah rumah yang terletak di dekat Jalan Dipati Ukur. Masyarakat menyebut rumah itu sebagai rumah setan.

“Dulunya, kawasan Dipati Ukur adalah tempat tinggal orang-orang Belanda dan tempat berkumpulnya kaum terpelajar, baik dari Belanda maupun pribumi. Itulah kenapa jika ditengok kawasan Dipati Ukur saat ini, banyak sekali berdiri lembaga-lembaga pendidikan, termasuk Universitas Padjajaran (Unpad). Namun saya tidak tahu di mana tepatnya markas kaum Theosofi tersebut,” ujar Usep.

Pada dasarnya, mereka tidak mengalami kesulitan menjajakan pemahamannya karena berpenampilan lembut, sopan dan ramah. Karenanya banyak masyarakat yang simpati dan tertarik dengan mereka. Sampai-sampai banyak masyarakat mengultuskan ucapan dan ajaran mereka, hingga mengikuti ritual agama Yahudi. “Tanpa disadari ajaran Zionis masuk ke hati dan pikiran masyarakat Bandung dan tumbuh menjadi suatu ajaran yang kuat,” tandas Usep.

Khusus di Surabaya, kaum Yahudi membentuk komunitas sendiri di beberapa kawasan kota lama, seperti Bubutan dan Jalan Kayon. Di Jalan Kayon No 4, Surabaya, hingga kini berdiri sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Selama ini gerakan mereka tidak mudah terdeteksi masyarakat karena mereka berkedok yayasan sosial dan amal. (Baca: Kamuflase Kaum Yahudi di Surabaya).

Panah beracun Zionis-Yahudi terus dilepaskan dari busurnya dan terus mengenai sasarannya. Setelah menunggu satu dekade, kini mereka sedang memanen buahnya. Melalui antek-anteknya di Indonesia, kaum Zionis-Yahudi “menyetir” dunia politik, sektor ekonomi, terutama bidang perbankan dan jaringan telekomunikasi.

Transaksi saham menjadi modal ampuh mengendalikan Indonesia. Singtel, perusahaan telekomunikasi milik orang Yahudi yang berkedudukan di Singapura misalnya, tahun lalu, berhasil menguasai kepemilikan PT Indosat, sebagaimana diungkapkan Ridwan Saidi . Mereka berhasil menjadi pemegang saham terbesar dan berhak mengatur arah policy Indosat ke depan. Komunikasi Indonesia, melalui Indosat misalnya, dalam kendali Yahudi?

Hal serupa terjadi dalam dunia pemberitaan. Bhakti Investama, sebuah perusahaan yang sebagian sahamnya milik George Soros, seorang Yahudi yang pada tahun 1998 mengacak-acak ekonomi Indonesia. Dengan membeli saham, dia mulai memasuki industri media di Indonesia Ritel juga menjadi sasaran utama mereka. Philip Morris, sebuah perusahaan rokok dunia milik seorang Yahudi asal Amerika menguasai kira-kira sembilan puluh persen saham perusahaan rokok PT Sampoerna. Ia pun berhak mengendalikan bisnis perusahaan rokok ternama di Indonesia itu.

Bidang budaya tak luput dari garapan mereka. Untuk menjauhkan Islam dari agamanya, mereka masuk ke dalam kebatinan Jawa. Kuatnya akar Freemasonry dapat dilihat dari mantra-mantra memanggil roh halus atau jin yang memakai bahasa Ibrani, bahasa khas kaum Yahudi.

Bau Zionis-Yahudi juga tercium tajam di dunia perjudian. Dadu yang sering dipakai dalam permainan judi bermata hewan Zionis. “Ini fakta. Oleh sebab itu saat menerima laporan dari bawahannya tentang kuatnya akar Zionisme-Yahudi di Indonesia, Hitler, pemimpin NAZI langsung mengirim pasukannya ke Hindia Belanda untuk memerangi mereka,” ujar Ridwan.

Jelas, gerakan Zionis-Yahudi bukanlah gerakan fiktif atau mengada-ada. Ia benar-benar nyata dan terus akan bergerak sampai cita-citanya tercapai: Menguasai dunia. Oleh sebab itu, kaum Muslimin harus terus memperkuat diri dengan Islam. Tidak boleh lengah atau lalai sedikit pun. Tetap waspada, jangan mudah termakan dengan pikiran atau paham bebas, dan rapatkan barisan, adalah modal kuat melawan mereka. Dan, tak kalah pentingnya, adalah memperkuat dan mengembangkan jaringan dan gerakan yang sedang kita bangun! (Sabili)

Rivai Hutapea

Agama' Kartini'



“Habis Gelap Terbitlah Terang” Sesungguhnya Adalah Cahaya Islam.
Pembicaraan tentang Kartini seakan-akan tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan. Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.


Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);

Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan

Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).




Sinkretisme
Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang nara pidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Dengan itu ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ''dukun'' Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ''anak'' Budha dan pantang makan daging.

Pramoedya menulis, ''Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya yaitu masyarakatnya.'' Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli ''tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan''. Menurut Kartini, ''Tolong menolong dan tunjang menunjang, cintai mencintai, itulah nada dasar segala agama. Duh ,kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya: karunia.'' (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan bahwa ''agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.'' (hlm 234)



Kartini dan Alquran
Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah bab yang berjudul 'Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini'. Pandangan Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ''Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya'' (surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun hal ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.

Sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang disini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.

Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti digambarkannya kepada EC Abendanon, ''Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami''. Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ''Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!''

''Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi''. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran Ahmad Mansur Suryanegara.



Akrab dengan ajaran Kristen
Di dalam buku yang ditulis Th Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.

Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua.

Sebab itu ketika Ny van Kol mengintroduksi ungkapan ''Tuhan sebagai Bapa'', Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jikalau dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ''Ibu sangat gembira... beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!''

Pada surat lain, Kartini menulis ''Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!''

Dari Ny van Kol pula Kartini belajar membaca Bijbel. Dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemane, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.

Dalam surat kepada Ny van Kol, Agustus 1901, Kartini menyebut bahwa derita neraka yang dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hlm 41).

Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm 41)

Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. Tetapi sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim. ''Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Dan kepada marhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya dengan karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.'' (hlm 43).

St Sunardi dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang dilancarkan oleh Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan, emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama gending kegemaran Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman batin yang tidak menentu. Ada suasana muram saat Kartini mengunyah ide emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan keadaan di Jepara saat itu. ''Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk melahirkan yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat sangat kami cintai.''

Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam, Protestan, Katholik, dan komunis, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan.

Bagi Kartini semua agama sama, amal terhadap sesama manusia lebih penting dari syariat. Demikian interpretasi Pram. ''Habis gelap terbitlah terang'' disebabkan oleh karena lubuk hati Kartini telah memperoleh nur Ilahi, demikian pendapat Ahmad Mansyur Suryanegara. ''Tuhan sebagai Bapa'', merupakan cetusan hati Kartini, begitu ujar Th Sumartana. ''Ibu rohani menanggung derita'', ucap St Sunardi. Meskipun bersuara keras menentang poligami, Kartini bukan anti-Islam, kata Haji Agus Salim.

Kartini tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan dan diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini, mana yang lebih penting apakah label agama/ideologi seseorang atau perjuangannya untuk emansipasi bangsa? (RioL)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI, Visiting Fellow pada KITLV Leiden



“Habis Gelap Terbitlah Terang” Sesungguhnya Adalah Cahaya Islam.
sesunggunya di akhir hidup Kartini, Kartini sedang semangat-semangatnya mempelajari Islam, dengan Kyai yang ada di keratonnya. Ketika Kartini mempelajari Islam, dia katakan bahwa sesungguhnya agama Islam tidak memarjinalkan perempuan. Sehingga sesungguhnya semangat Kartini bukan semangat emansipasi, tetapi menuntut bahwa perempuan juga seharusnya diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan adalah jendela dari seluruh kemajuan.

Tanggal 21 April oleh bangsa Indonesia di abadikan sebagai hari Kartini. Dengan maksud untuk mengenang semangat Kartini dalam memberdayakan kaum perempuan. Apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh Kartini? Apa kaitannnya dengan semangat perjuangan Islam. Berikut ini adalah wawancara PKS Online, dengan Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraski PKS, Maria Ahdiati. Berikut nukilannya.

Bagaimana pendapat Ibu tentang perayaan Hari Kartini di Indonesia?

Saya melihat perayaan hari Kartini itu harusnya lebih di lihat lagi substansinya. Jadi bukan sekedar pada acara-acara seremonial, atau pemakaian kebaya. Bukan berarti saya anti itu. Tapi marilah kita lihat, bahwa perayaan hari Kartini itu kita lihat secara subtansinya. Kalau Kartini punya semangat pemberdayaan wanita, maka itu juga yang seharusnya diperhatikan oleh kita.

Sekarang inikan bangsa Indonesia dengan berbagai krisis, termasuk yang sedang hangat yaitu kenaikan BBM, saya merasa bahwa yang kena dampak langsung dari kenaikkan BBM adalah kaum perempuan. Karena contoh terkecil di rumahnya, perempuanlah yang paling depan menghadapi itu. Mulai dari kemampuan dia mengatur keuangan supaya bisa mencukupi seluruh kebutuhan keluarganya, termasuk anak-anaknya. Jadi saya melihat, yang mestinya ditekankan sekarang adalah semangat pemberdayaan perempuan di semua lini kehidupan.

Jadi hal apa yang harus dilakukan oleh perempuan Indonesia di hari Kartini ?

Saya pikir tidak terbatas pada kegiatan di hari Kartininya saja. Sepanjang tahun, sepanjang waktu, semestinya semangat pemberdayaan perempuan itu harusnya ada. Bukan saja pada saat hari Kartini itu ada seminar, ada hal-hal yang sifatnya formalitas, tapi lebih kepada penyadaran. Bolehlah di hari Kartini ada semacam seminar atau lokakarya tentang pemberdayaan perempuan, tapi itu bukan hanya selesai di atas kertas, selesai ketika seminar itu usai, tapi harus ada tindak lanjut yang nyata.

Sebenarnya sosok Kartini itu di mata Ibu seperti apa?

Saya melihat Kartini sosok perempuan yang baik, yang ketika itu pada jamannya, Kartini adalah sebuah fenomena yang tidak umum. Karena pada zaman itu, wanita itukan hanya diberikan peluang untuk lebih banyak dikehidupan domestik, sampai untuk sekolah pun Kartini harus berjuang begitu tingginya untuk menyelesaikan Sekolah Rakyat. Jadi saya melihat sosok Kartini adalah sosok yang memang memiliki semangat pemberdayaan wanita, yang saat itu memang belum umum. Apalagi ketika saya membaca, bahwa sesunggunya di akhir hidup Kartini, Kartini sedang semangat-semangatnya mempelajari Islam, dengan Kyai yang ada di keratonnya. Saya pikir, bila Kartini hidup lebih lama lagi, dia akan menemukan bahwa “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu sesungguhnya adalah cahaya Islam.

Yang dipahami selama ini, apa yang diperjuangkan Kartini adalah emansipasi, persamaan derajat antara pria dan wanita. Pendapat ibu?

Inilah yang kemudian orang dengan mudah membelokkan sejarah. Maka, kita harus benar-benar jeli mempelajari sejarah dan mensosialisasikannya kepada perempuan dan bangsa ini pada umumnya. Bahwa sesungguhnya, Kartini ketika belum begitu dalam mempelajari Islam, mungkin saja emansipasi yang sekarang ditafsirkan seperti itu. Tapi sesungguhnya ketika Kartini mempelajari Islam, dia katakan bahwa sesungguhnya agama Islam tidak memarjinalkan perempuan. Sehingga sesungguhnya semangat Kartini bukan semangat emansipasi, tetapi menuntut bahwa perempuan juga seharusnya diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan adalah jendela dari seluruh kemajuan.

Berarti apa yang diperjuangkan Kartini sesuai dengan ajaran Islam?

Ya, kalau kita baca sejarahnya secara rinci, bahwa Kartini itu tidak meminta emansipasi, tapi menuntut hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan itu oleh Islam 15 abad yang lalu sudah diberikan keleluasaan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan.

Apa yang bisa dipetik perempuan Indonesia umumnya dan perempuan PKS khususnya, dari perjuangan yang sudah dilakukan oleh Kartini?

Sesungguhnya, ketika nilai-nilai kebaikkan itu datangnya dari mana saja, ketika itu sesuai dengan nilai-nilai Islam, ya kita harus junjung. Begitu juga ketika kita lihat Kartini begitu gigih memperjuangkan hak memperoleh pendidikan kita dukung itu. Apalagi sekarang kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan itu sudah terbuka sangat luas. Sehingga tentu saja kita harus dorong kaum perempuan, minimal pemahaman kesadaran pada pendidikannya itu harus terus kita bangun. Karena bagaimanapun karena perempuannya terdidik dalam artian bukan saja dari segi teknologi, tapi iman dan taqwanya juga, maka Insya Allah ke depan nasib bangsa ini akan lebih baik.

Apa yang bisa dimanfaatkan oleh perempuan PKS pada momen ini, untuk mengembangkan dakwah?

Sekali lagi kita tidak ingin terjebak dengan momen-momen tertentu, tapi tidak ada salahnya ini dijadikan momen untuk terus memperjuangkan, terus mensosialisasikan tentang perlunya pemberdayaan perempuan Dan saya pikir kader-kader PKS sudah berbuat di lapangan, tanpa mendengung-dengungkan bahwa ini adalah cita-cita Kartini. Saya melihat bahwa kader-kader PKS dengan dana sendiri, dengan tenaga yang mereka miliki, dengan kegiatan Pos Keluarga Keadilan, majelis taklimnya atau TPA-TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an - Red) yang mereka bina, saya pikir itu adalah sebuah kerja nyata untuk melanjutkan perjuangan Kartini. (Ningsih/PKS)

Konspirasi Baru Terhadap Masjidul Aqsa


Baca : Kuil Sulaiman, Alasan Penghancuran Masjidil Aqsha





Selama beberapa hari terakhir ini, Masjidul Aqsa telah menyaksikan konspirasi baru. Kiblat pertama umat Islam ini, yang juga merupakan tempat suci bagi para penganut Kristen dan Yahudi telah diancam akan dihancurkan oleh kelompok ekstrim Zionis pada tanggal 10 April.

Menurut kelompok ekstrim Zionis, tanggal 10 April adalah hari raya suci orang-orang Yahudi dan oleh karena itu, mereka akan merusak Masjidul Aqsa pada hari itu. Tujuan utama aksi orang-orang Zionis ekstrim itu adalah untuk memaksa Perdana Menteri Rezim Zionis, Ariel Sharon, agar membatalkan program pembubaran kota-kota pendudukan Zionis di Jalur Gaza. Namun ancaman itu berhasil digagalkan setelah puluhan ribu rakyat Palestina bersiaga di seputar Masjidul Aqsa.

Rakyat Palestina selama 57 tahun terakhir ini tidak pernah mau menyerah di hadapan penindasan Rezim Zionis. Kali inipun, ancaman yang dilemparkan oleh kelompok ekstrim Rezim Zionis mendapatkan penentangan keras dari rakyat Palestina. Sebanyak 20 ribu warga muslim dari berbagai penjuru Palestina berkumpul dan bersiaga di Masjidul Aqsa.

Meskipun dihalang-halangi tentara Rezim Zionis yang melarang rakyat Palestina berusia di bawah 40 tahun untuk datang ke Masjidul Aqsa, namun warga Palestina dengan gigih membanjiri Masjidul Aqsa. Perlindungan warga Palestina, dan juga reaksi keras umat Islam dari berbagai penjuru dunia, telah menyebabkan konspirasi untuk merusak Masjidul Aqsa itu ditunda sementara waktu. Namun, kelompok ekstrim Zionis tetap mengancam akan melaksanakan aksi mereka tanggal 9 Mei mendatang.

Diskriminasi dan ancaman terhadap Masjidul Aqsa mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era Perang Arab-Israel yang meletus tahun 1968, Rezim Zionis berhasil menguasai wilayah Baitul Maqdis dimana Masjidul Aqsa berada. Sejak saat itulah, berbagai usaha perusakan terhadap Masjidul Aqsa telah dimulai. Pada tahun 1969, seorang ekstrimis Zionis telah membakar Masjidul Aqsa sehingga mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap masjid itu. Pada tahun 1975, kabinet Rezim Zionis telah memberi izin kepada kelompok ekstrim Zionis untuk masuk ke tempat suci ini dan melakukan upacara agama mereka. Padahal berdasarkan kepada ajaran agama Yahudi, hadir di halaman Masjidul Aqsa adalah sebuah perbuatan yang terlarang.

Pada awal dekade 1980-an terungkap rencana peledakan terhadap Masjidul Aqsa. Pada tahun 2000, Ariel Sharon menjejakkan kakinya di Masjidul Aqsa dan mengeluarkan pernyataan yang menghina umat Islam. Perilaku Sharon ini telah menimbulkan kemarahan dan kebencian umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Penghinaan Sharon ini kemudian memicu kebangkitan perjuangan bangsa Palestina untuk kedua kalinya, yang disebut sebagai Intifadah Masjidul Aqsa.

Sejak saat itu hingga sekarang, Rezim Zionis melakukan berbagai konspirasi jahat yang bertujuan memusnahkan Masjidul Aqsa, antara lain dengan menggali terowongan di bawah fondasi masjid itu dan mengalirkan air ke dalamnya. Tujuan dari perbuatan ini adalah untuk merapuhkan pondasi Masjidul Aqsa. Berbagai usaha penghancuran Masjidul Aqsa yang dilakukan Zionis telah membuat masjid ini menjadi tempat suci yang paling mazlum di dunia.

Kini, muncul pertanyaan penting, mengapa orang-orang Zionis sangat berambisi menghancurkan Masjidul Aqsa? Jawaban atas pertanyaan ini ada dua. Pertama, Masjidul Aqsa adalah simbol solidaritas dan persatuan umat Islam dalam menentang Rezim Zionis. Selama Masjidul Aqsa masih berdiri, umat Islam akan terus termotivasi untuk berjuang membebaskan masjid itu dari tangan Rezim Zionis. Masjidul Aqsa juga memberikan inspirasi kepada rakyat Palestina untuk terus bangkit menentang kezaliman Zionis.

Kedua, Masjidul Aqsa diklaim oleh kelompok Yahudi ekstrim sebagai bangunan yang didirikan di atas rumah ibadah mereka yang dulu dibangun oleh Nabi Sulaiman. Kelompok Yahudi ekstrim ingin menghancurkan Masjidul Aqsa dan membangun kembali Kuil Sulaiman di atasnya. Padahal, tidak ada dokumen atau bukti apapun yang membenarkan klaim kelompok Yahudi ekstrim ini. Kelompok Yahudi ekstrim yang ingin merealisasikan rencana penghancuran Masjidul Aqsa ini bekerja sama dengan pemerintahan Tel Aviv. Sepanjang dua dekade lalu, banyak sekali kelompok-kelompok Yahudi ekstrim yang berdiri. Meskipun jumlah anggota kelompok-kelompok itu tidak banyak, tetapi mereka memiliki kekuasaan ekonomi, propaganda, dan politik yang besar.

Meskipun Pemerintah Tel Aviv sering mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap kelompok-kelompok ekstrim itu, namun sesungguhnya Tel Aviv selalu memberi dukungan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Dalam konspirasi terbaru kelompok Yahudi ekstrim untuk memusnahkan Masjidul Aqsa, Pemerintah Zionis memang melakukan berbagai langkah yang seolah-olah menentang aksi-aksi kelompok ekstrim itu. Padahal, sesungguhnya pemerintah Zionis menjalin koordinasi dengan kelompok-kelompok ekstrim ini, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian media massa Zionis. Penetapan tanggal baru untuk menghancurkan Masjidul Aqsa juga mengindikasikan adanya koordinasi antara pemerintah Zionis dengan kelompok Yahudi ekstrim. Diprediksikan, krisis ini akan terus berlanjut sampai Tel Aviv mencapai tujuan jahat mereka.

Para pengamat politik menyatakan, konspirasi baru kelompok ekstrim Yahudi terhadap Masjidul Aqsa sesungguhnya berada dalam agenda Perdana Menteri Rezim Zionis, Ariel Sharon. Sebagaimana diketahui, atas tekanan sekutu-sekutunya, Sharon terpaksa menyetujui program pengosongan kawasan-kawasan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza. Dengan meningkatnya berbagai aksi kerusuhan dan munculnya ancaman-ancaman dari kelompok ekstrim Yahudi, Sharon menjadi punya alasan untuk mengingkari janjinya mengosongkan kota-kota Zionis di Jalur Gaza.

Sementara itu, janji pengosongan kota-kota Zionis di Jalur Gaza, juga dimanfaatkan Sharon untuk membangun kawasan-kawasan pemukiman baru di sekitar Baitul Maqdis. Dengan cara ini, Masjidul Aqsa akan terkepung di tengah-tengah kawasan-kawasan pemukiman Zionis. Selanjutnya, jumlah penduduk Zionis di Baitul Maqdis akan meningkat dan umat Islam Palestina diusir keluar dari sana. Langkah ini disebut sebagai langkah judaisasi Baitul Maqdis. Dalam sebuah media massa dimuat pernyataan seorang ekstrimis Zionis yang mengatakan, “Orang-orang Yahudi tidak boleh merasa cukup dengan sekadar membangun kembali Kuil Sulaiman menggantikan Masjidul Aqsa. Mereka juga harus mengusir orang-orang Palestina yang tinggal di kawasan timur Baitul Maqdis agar kota ini bersih dari identitas Palestina dan Islam.”

Dalam rangka menguasai Masjidul Aqsa, Presiden Israel, Moshe Katzav, juga mengajukan proposal lain, yaitu agar masjid ini dibagi dua antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi. Tujuan di balik proposal ini sudah jelas, yaitu agar kaum Zionis memiliki akses yang lebih besar terhadap Masjidul Aqsa, sehingga mereka dengan mudah dapat menghancurkannya. Mengingat bahwa proposal Presiden Katzav ini diajukan dengan kerjasama antara pemerintah Zionis dan kelompok-kelompok ekstrim Yahudi, terungkaplah kenyataan bahwa kedua pihak itu sesungguhnya berada dalam satu front, yaitu ingin menghancurkan Masjidul Aqsa. (irib)

Ganyang Aceh, Ganyang Malaysia, Ganyang Siapa Lagi?

Oleh: Forum Komunikasi
Bagian 4/4 : Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Belakangan terbukti, “umpan” isu Ambalat tak disambar mahasiswa yang sadar bahwa agenda BBM lebih membumi daripada sengketa perbatasan yang didramatisasi.

Di sejumlah kota, posko ganyang Malaysia praktis dimotori organisasi yang “tak jauh” dari baju loreng: Pemuda Pancasila, FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI) dan Resimen Mahasiswa. Yang disebut terakhir, kendati semakin tidak populer, tetapi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, masih eksis dengan mengusung isu ini.

Memang sulit untuk tidak mengaitkan maraknya sentimen anti-Malaysia dengan agenda politik militer di Indonesia. Ini bukan korelasi yang dicari-cari. Dalam tulisan sebelumnya, telah diurai agenda-agenda lain yang “menumpangi” isu Ambalat.

Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI, di mana Angkatan Laut dan Angkatan Udara akan memiliki kans yang sama dengan Angkatan Darat dalam perebutan kursi panglima bila konflik Ambalat membesar.

Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer yang selama tahun 2005 dan 2006 ini akan meningkat tajam melebihi anggaran kesehatan, misalnya. Dan yang ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua.

Para think tank di Markas Besar TNI sudah berhitung, bahwa sentimen anti-Malaysia, bila dikelola dengan baik, akan berdampak signifikan terhadap agenda politik militer di daerah konflik seperti Aceh atau Papua. Sebab, baik Ambalat atau Aceh, sama-sama menggunakan selling point “nasionalisme” untuk meraih dukungan publik.

Apalagi, sepanjang penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh, publik di Indonesia cenderung permisif dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Isu HAM menjadi barang mewah bila dihadapkan dengan rasa “nasionalisme” dan jargon keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sentimen “nasionalisme”, disengaja atau tidak, telah dirasakan manfaatnya oleh TNI sebagai suaka—kalau tidak mau disebut tempat persembunyian—yang efektif dari tuntutan moral untuk menegakkan HAM.

Sulit membayangkan, dalam suasana di mana Indonesia dan Malaysia berseteru secara militer, kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Semanggi atau Trisakti—jangankan Aceh—akan diungkit oleh publik dan media.

Padahal, sepanjang penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh, misalnya, berbagai kejahatan perang telah dilakukan. Mulai dari aksi vandalisme dengan mencoreti rumah warga yang dituduh GAM, hingga pembunuhan terhadap warga sipil non-kombatan (extra-judicial execution). Itu belum termasuk kasus penyiksaan tahanan, kekerasan terhadap warga masyarakat, intimidasi hingga politik stigmatisasi dan diskriminasi terhadap warga Aceh.

Masih ingat bagaimana Gubernur Sutiyoso memperingatkan warga Jakarta agar mewaspadai setiap orang Aceh yang tinggal atau menetap di lingkungan mereka, sepanjang Mei 2003?

Catatan kejahatan kemanusiaan di Aceh ini tak pernah mengusik ketenangan publik. Sebab, selain tidak pernah dimuat secara jujur oleh media massa, faktor lain yang juga berperan adalah tafsir sempit tentang nasionalisme dan NKRI. Nasionalisme dalam konteks Aceh atau Papua (dan Timor Timur dulu) seperti sebuah blanko cek yang kosong, yang memungkinkan si penerimanya (militer) mengisi sesuka hati.

Dalam kasus Ambalat pun, ekspresi nasionalisme dilakukan dengan membakar bendera Malaysia, latihan bela diri serta membuka posko relawan yang katanya siap dikirim ke garis depan.

Begitulah, nasionalisme telah dimanipulasi menjadi mantra suci yang sebenarnya dipupuk dari rasa dendam karena perlakuan Kuala Lumpur terhadap tenaga kerja Indonesia. Plus, faktor kecemburuan ekonomi yang tak ditelisik lebih jauh akar persoalannya. Tak ada yang pernah melihat “kemiskinan” Indonesia dibanding Malaysia dari kacamata maraknya korupsi di negeri sendiri.

Tapi—sebagaimana Soekarno menggunakan politik konfrontasi dengan Malaysia untuk menciptakan musuh bersama dan mengalihkan publik dari persoalan himpitan ekonomi di dalam negeri—ganyang Malaysia sudah kadung menjadi ikon ekspresi nasionalis sejati. Yang tidak anti-Malaysia berarti bukan patriot bangsa. Dan media punya andil besar dalam penyesatan ini.



Agenda di Aceh
Di tengah membuncahnya sentimen anti-Malaysia inilah, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda, Mayor Jenderal Endang Suwarya meminta tambahan pasukan untuk meneruskan operasi militer di Aceh guna memerangi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tambahan pasukan tempur yang kemungkinan adalah pengalihan fungsi zeni ini, akan diaktifkan bersamaan dengan berakhirnya masa tanggap darurat, 26 Maret mendatang dan hengkangnya militer/lembaga asing.



Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) pun, juga hendak mengaktifkan Tim Pemburu GAM.
Padahal, siapapun tahu, otoritas politik di Jakarta sedang dalam masa penantian untuk melanjutkan dialog damai dengan GAM di Helsinki, April mendatang. Dialog yang akan digelar adalah dialog ronde III yang oleh fasilitator Crisis Management Initative (CMI) disarankan agar selama periode ini, keduabelah pihak menahan diri.

Tapi agenda menambah pasukan dan penggempuran yang nanti akan dilakukan, jelas akan menyulitkan tim perunding yang terdiri dari para menteri kabinet Indonesia Bersatu itu. Situasi semakin sulit bagi jalannya dialog, bila sentimen Ambalat dilecut-lecutkan yang membuat posisi TNI di atas angin dalam mempengaruhi opini publik dengan “menjual” nasionalisme. Tanpa Ambalat pun, publik cenderung dikondisikan menolak proses perundingan damai. Apalagi, ditingkahi Ambalat.



Agenda GAM
Tapi memanipulasi isu Ambalat sejatinya bukan cuma monopoli satu pihak. Dalam tubuh militer GAM pun, ada libido untuk mendorong agar terjadi clash senjata antara Tentara Diraja Malaysia dan militer Indonesia. Targetnya, agar tercipta ruang gerak yang leluasa bagi GAM untuk melakukan konsolidasi. Dalam hitungan GAM, TNI tak mungkin menghadapi pertempuran di dua front sekaligus. Bila pecah perang dengan Malaysia, sayap militer GAM akan diuntungkan secara taktis dan sayap politiknya akan memiliki posisi tawar dalam perundingan.

Java Oorlog alias Perang Jawa (1825-1830) membuktikan, Belanda tak dapat menghadapi Diponegoro dan Imam Bonjol sekaligus. Salah satu harus diajak berunding. Dan mereka memilih berdamai dengan kaum Padri di Sumatera Barat, untuk mengonsentrasikan pukulan ke Gua Selarong.

Saat itu, Imam Bonjol tak mengambil kesempatan dengan terus membuka front di Sumatera Barat. Sesuatu yang belakangan mendatangkan sesal, karena setelah selesai dengan Java Oorlog, Belanda ternyata membawa serta panglima perang Diponegoro yang telah membelot, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, untuk memerangi kaum Padri (walaupun belakangan Sentot membelot lagi ke kubu Bonjol).

Para lulusan Tidar (Magelang) tentunya juga membaca buku sejarah, bagaimana pasukan Nazi Jerman harus menerima kekalahan karena serakah membuka front di Eropa Barat, Rusia dan Afrika sekaligus. Divisi-divisi panser dan angkatan udara mereka (Luftwafe) harus dipecah dan menyedot anggaran yang tak sedikit selama Perang Dunia II (1941-1945).

Politik gila perang-nya Hitler, telah membuat prajuritnya sengsara menghadapi Inggris di front Eropa Barat, pasukan sekutu di front Afrika Utara dan pasukan Stalin di Stalingrad.

Tentu saja situasinya tak sedahsyat itu. Tetapi, setidaknya nyaris sepola. Bermain api dengan menyulut sentimen perang di Ambalat, bisa menjadi bumerang bagi TNI sendiri. Sulit membayangkan, Muzakir Mannaf dan pasukannya tidak mengambil keuntungan secara militer dari perang Indonesia versus Malaysia. Bila pecah perang, maka Malaysia dipastikan akan memainkan peran signifikan bagi masuknya senjata ke Aceh melalui Selat Malaka. Sebab, Malaysia pun berkepentingan TNI menghadapi dua front sekaligus.

Sulit juga membayangkan Kelly Kwalik dan gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan berpangku tangan di masa-masa perang itu. Bila ini terjadi, maka TNI (bak Nazi Jerman), menghadapi tiga front sekaligus: di Ambalat, di Aceh dan di (mungkin) Papua. Kalau sudah begini, jangan-jangan, perang Ambalat pun bukan perangnya orang Aceh atau orang Papua.

Sejarah mencatat, suku Kurdi memanfaatkan sewindu perang Irak-Iran (1980-1988) untuk memperkuat diri dan melawan Baghdad. Pilihan yang harus dibayar mahal. Sebab, ketika perang usai, Saddam Husein melancarkan politik balas dendam dengan menggunakan senjata kimia untuk membantai warga Kurdi.

Kalau orang Aceh dan orang Papua tak mendukung perang Indonesia melawan Malaysia, maka bisa dipastikan, situasi konflik di tanah air pun akan menjadi runyam di masa-masa yang akan datang. Sekali lagi, contoh kasus Kurdi adalah gambaran ekstrem, kendati kebijakan seperti yang dilakukan Gubernur Sutiyoso dengan menstigmatisasi setiap warga Aceh, adalah bibit yang bisa berbuah negatif di belakang hari.

Jadi, masih mau perang di Ambalat? [tamat]



--------------------------------------------------------------------------------


Bagian 3/4 : Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan BBM (bahan bakar minyak) sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Setidaknya ada beberapa isu yang akan diurai:

Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI. Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer; dan ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua.

Sebagaimana diketahui, posisi Panglima TNI akan segera diperebutkan oleh ketiga kepala staf angkatan. Jenderal Endriartono Sutarto (Akabri 1971) yang kini memegang jabatan Panglima sudah mengalami masa perpanjangan dua kali dan dua kali pula sudah mengajukan pengunduran diri. Saat itu, di atas kertas, peluang terbesar akan jatuh kepada mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu (Akabri 1973) sebagaimana yang diinginkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum turun dari jabatannya.

Namun Presiden Yudhoyono agaknya tak terlalu tertarik memasang Jenderal Ryamizard yang oleh orang ramai dikenal berhaluan ultra-nasionalis. Tapi para kepala staf angkatan yang lain, Laksamana Bernard Kent Sondakh, 57 tahun, (Akabri 1970) dan Marsekal Chappy Hakim, 58 tahun, (Akabri 1971) segera memasuki usia pensiun sehingga tak mungkin menunjuk mereka sebagai Panglima.

Sementara, mengangkat jenderal yang lain juga mustahil sebab menurut Undang-Undang, jabatan Panglima TNI hanya boleh dipegang oleh mereka yang pernah memegang jabatan kepala staf angkatan. Entah itu Angkatan Darat, Angkatan Laut, atau Angkatan Udara.

Lantas Februari lalu, Presiden Yudhoyono pun mengangkat para kepala staf baru, yaitu Laksamana Madya Slamet Soebijanto (Akabri 1973) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Marsekal Madya Djoko Suyanto (Akabri 1973) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara, dan Letnan Jenderal Djoko Santoso (Akabri 1975) sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Tiga-tiganya berbintang tiga.

Sementara di saat yang sama, Presiden Yudhoyono tetap mempertahankan Jenderal Endriartono Sutarto yang sudah berusia 58 tahun sebagai Panglima TNI. Langkah ini sudah terbaca sebagai sikap Presiden yang menginginkan Panglima TNI jatuh ke tangan salah satu kepala staf yang baru hingga waktunya tiba, daripada mengangkat Jenderal Ryamizard, 55 tahun, yang saat ini menganggur. Waktu menganggur yang sangat lama bila merujuk UU No 34/2004 di mana usia pensiun perwira tinggi diolor hingga 58 tahun.

Dus, dengan gejala ini, sulit dipungkiri jika kini terjadi kompetisi yang ketat di antara tiga kepala staf angkatan kendati Presiden Yudhoyono diprediksi akan mempertahankan tradisi pengangkatan Panglima TNI dari kalangan Angkatan Darat. Tanpa Ambalat, peluang Angkatan Darat makin tak terbendung karena masalah Aceh juga akan digunakan sebagai kartu politik untuk bargain (tawar-menawar) di antara elit militer dan otoritas politik.

Nah, karena itu, agak berat disangkal, bahwa medan sengketa Ambalat yang kebetulan berada di wilayah lepas pantai dan perairan itu, telah meningkatkan bargaining position (posisi tawar) TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Apalagi, kedua kepala staf angkatan ini, kendati sama-sama bintang tiga, namun keduanya lebih senior dua tahun dibanding KSAD Letjen Djoko Santoso.

Sejatinya Angkatan Darat sendiri agak salah tingkah menghadapi medan konflik Ambalat. Sebab, mereka tahu, ini adalah “lahannya” Angkatan Udara, terutama Angkatan Laut. Sejujurnya, infanteri tak terlalu dibutuhkan di Ambalat dibanding fregat, kapal selam atau pesawat tempur yang akan menentukan menang kalahnya pertempuran, terutama di babak-babak awal peperangan. Pada fase ini, biasanya pertempuran terjadi di titik di mana gesekan akan terjadi di antara kapal perang dan pesawat tempur. Kalau sudah begini, maka posisi KSAL dan KSAU tak lagi menjadi pemain figuran; seperti di Aceh.

Dus, bila kisruh Ambalat ini berlanjut (baca: dilanjutkan) hingga masa di mana Panglima TNI benar-benar harus diganti, maka peluang ketiga kepala staf angkatan boleh dibilang berimbang.



Anggaran dan Belanja Militer
Dimensi lain di balik membesarnya masalah Ambalat adalah agenda peningkatan anggaran pertahanan dan belanja militer. Sekali lagi, tak terbatas pada pengalihan isu kenaikan BBM. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di atas pesawat yang membawanya terbang ke Kalimantan Timur, 9 Maret lalu, sudah terang-terangan mengakui hal ini.

Anggaran pertahanan sendiri setiap tahun terus mengalami peningkatan dari Rp 11,53 triliun di tahun 2003, meningkat menjadi Rp 13,2 triliun pada tahun 2004. Peningkatan ini menggunakan Aceh sebagai dasar argumen selain dana darurat militer dan darurat sipil yang diperkirakan telah menelan biaya Rp 5 triliun lebih.

Nah, sebelum muncul Ambalat pun, untuk tahun anggaran 2005 ini, pagu untuk Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI sudah digenjot lagi menjadi Rp 22 triliun dari permintaan semula Rp 45 triliun. Nah, bila Ambalat membesar, bukan mustahil, akan ada revisi anggaran untuk alokasi ini.

Lalu mau tahu berapa yang diajukan Departemen Pertahanan dan TNI untuk tahun 2006 nanti? Departemen Pertahanan call tinggi dengan memasang angka Rp 56 triliun. Boleh percaya boleh tidak, jumlah ini tiga kali lipat dari nilai subsidi BBM yang dicabut 1 Maret lalu.

Memang, dengan angka sefantastis itu (kira-kira 7 kali lipat anggaran kesehatan di APBN 2005), memang tidak mungkin Departemen Pertahanan menggunakan isu Ambalat untuk menambah nominalnya. Yang mungkin dilakukan adalah menggunakan masalah Ambalat untuk memperkuat basis argumen, agar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atau DPR kelak tidak terlalu rewel mempersalahkan tingginya angka itu.

Dan boleh bertaruh, bila hari ini anggota DPR ditanya tentang peningkatan anggaran militer dalam konteks Ambalat, rata-rata mereka akan memberikan kabar yang baik bagi Medan Merdeka Barat (Dephan) dan Cilangkap (Mabes TNI).

Catatan kita semua menunjukkan bahwa ekskalasi konflik selalu berbanding lurus dengan melonjaknya anggaran militer. Saat status darurat yang terus menerus diperpanjang di Aceh, DPR telah menyetujui peningkatan anggaran hingga 15 persen dari tahun 2003 ke 2004. Itu adalah persentase yang “moderat” bila mengingat yang dihadapi adalah ‘non-state-actor enemy’ seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Lantas bisa diangankan, berapa persentase peningkatan anggaran yang dibutuhkan bila yang dihadapi adalah ‘state-actor enemy’ seperti Malaysia, yang anggaran militernya—dibanding Produk Domestik Bruto—lebih besar tiga 3 kali lipat dibanding Indonesia. Dibandingkan APBN-nya pun, Malaysia tetap lebih unggul dari sisi persentase melawan Indonesia. Untuk tahun 2004 saja, belanja pertahanan Malaysia mencapai 9,08 persen dari APBN mereka, sementara Indonesia harus puas di angka 5,72 persen.

Kisruh Ambalat, disengaja atau tidak, jelas memberikan kesempatan bagi para pelobi anggaran militer untuk menjebolkan pertahanan DPR yang bertindak sebagai benteng terakhir pertahanan dana publik.

Kini, lebih gamblang terlihat, bahwa isu Ambalat (baca: ganyang Malaysia) yang tiba-tiba membesar dan menyebar di mana-mana, tak hanya “dinikmati” oleh otoritas pro-kenaikan harga BBM, tetapi melibatkan spektrum yang lebih luas.

Saking luasnya, hingga spektrum ini mencakup juga agenda politik di Aceh dan Papua.

Ah, terlalu mengada-ada? [/acehkita.com]



--------------------------------------------------------------------------------


Bagian 2/4 : Hampir sulit dibantah, bahwa seruan konfrontasi dengan Malaysia yang dilancarkan Presiden Soekano antara Januari 1963 hinggga Mei 1966 tak lebih dari urusan menyelematkan wajah kebijakan dalam negeri yang mulai amburadul. Apalagi kekuatan tentara tercerai berai, terutama pasca-1965. Dengan menciptakan musuh bersama di luar, Soekarno berharap loyalitas para jenderalnya bisa dipertahankan.

Sialnya, Soeharto yang saat itu memegang Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), tidak menganggap Malaysia sebagai musuh. Tanpa sepengetahuan Bung Karno, bersama Ali Moertopo, Soeharto menggalang ‘diplomasi bawah tangan’ dengan para politisi di semenanjung Malaka.

Dalam derajat tertentu, ada polarisasi yang saat itu sudah mengerucut: mendukung politik konfrontasi sama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), setidaknya komunis. Pro-Chin Peng!

Dengan fakta insubordinasi (ketidakpatuhan) di kalangan TNI Angkatan Darat ini, maka proyek konfrontasi dengan Malaysia sudah mengandung bias kepentingan mempertahankan kekuasaan Soekarno sendiri. Apalagi, jangankan negara-negara lain, Uni Soviet pun tak mendukung Komando Dwikora untuk ganyang Malaysia sebagaimana Komando Trikora di Irian Barat.

Memang masih ada China yang menyokong konfrontasi via PKI. Tetapi hengkangnya Uni Soviet, jelas mengurangi “kadar ideologis” dari kebijakan ini. Apalagi, kondisi perekonomian nasional yang saat itu bisa dikata bangkrut, turut melemahkan citra ganyang Malaysia sebagai misi politik ‘cinta tanah air’.



Mengalihkan Isu BBM?
Ya dan Tidak

Lantas yang terjadi hari ini, seperti mengulang sejarah. Orang ramai percaya tentang pengalihan isu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di balik sengketa Ambalat. Ada benarnya, ada juga tidaknya.

Perspektif pengalihan isu sebenarnya merujuk pada intensitas pemberitaan media massa terhadap topik tertentu. Kendati tak mustahil, tetapi sulit membayangkan pemerintah—yang sedang tidak populer—bergerilya dari ruang redaksi ke ruang redaksi untuk meminta para wartawannya mengganti berita BBM ke Ambalat.

Memang benar, hanya dua hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan kenaikan harga BBM, koran-koran sudah mengganti berita utama (headline) dan foto halaman muka mereka. Tapi ini lebih merupakan “permintaan pasar” daripada desain politik.

Ambil contoh Kompas, sebuah koran nasional yang sangat berpengaruh dengan oplah lebih dari setengah juta ekspemplar per hari. Tanggal 1 Maret, Kompas memajang foto antrean BBM di salah satu pom bensin dengan headline “Harga BBM Akhirnya Naik”.

Keesokannya, tanggal 2 Maret, koran ini memajang foto aksi demonstrasi di Denpasar yang mengecam kenaikan harga BBM. Karena fotonya sudah “keras”, maka headline-nya pun agak “lunak”: “Berikan Kompensasi Insentif kepada Dunia Usaha Nasional”.

Hari itu, sengekta Ambalat belum muncul di halaman satu. Satu-satunya berita yang berhubungan dengan Malaysia di halaman satu adalah dimulainya razia TKI (tenaga kerja Indonesia) ilegal. “Razia Dimulai, 131 Pekerja Ilegal Ditangkap,” demikian judulnya.

Berita tentang Ambalat di halaman satu baru muncul pada hari Kamis, 3 Maret 2005 yang mewartakan tentang disiagakannya tiga kapal perang—yang salah satunya bernama KRI Rencong (senjata tradisional Aceh). Tetapi judul berita utamanya masih soal kenaikan BBM: “Rumah Jusuf Kalla Didemo Mahasiswa”. Sementara foto yang dipasang adalah gambar para TKI yang terjaring razia di Klang, dekat Kuala Lumpur.

Sejak hari itu, berita Ambalat tak pernah absen dari halaman satu Kompas.

Keesokan harinya, sebuah foto pesawat Nomad milik TNI AL yang terbang di atas Laut Sulawesi dipajang seukuran lima kolom. Foto yang sama juga dipajang harian Media Indonesia, saudara kandung Metro TV yang—entah apa maksudnya—memutar filler persiapan perang diiringi lagu Maju Tak Gentar dan tulisan berwarna merah: “Pertahankan Ambalat”.

Foto paling dramatis yang dipajang Kompas (8/3) dan segera menggeser isu kenaikan BBM adalah saat Presiden Yudhoyono melihat batas cakrawala melalui teropong di anjungan KRI Karel Satsuit Tubun di perairan Ambalat dengan judul besar selebar lima kolom: “Presiden Tinjau Perbatasan RI-Malaysia”.

Disusul keesokan harinya (9/3) dengan foto dua prajurit Marinir Brigif I Surabaya yang bersiaga di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimatan Timur dengan judul headline “Ketegangan di Daerah Perbatasan Mereda”.

Kita belum tahu, apakah penarikan sejumlah armada tempur Malaysia di Ambalat dan disusul dengan penarikan kapal TNI AL benar-benar akan meredakan hawa perang yang ikut dihembuskan media massa. Yang jelas, di tingkat wacana publik, topik kenaikan BBM tak lagi difavoritkan menjadi berita atau foto utama.

Tentu saja otoritas pro-kenaikan BBM menikmati ini sebagai pengalihan isu, tetapi sulit juga membayangkannya sebagai desain strategi PR (public relation) yang rapi. Konon lagi desain politik yang sistemik. Sebab, anggota parlemen yang anti kenaikan BBM-pun latah meramaikan demo ganyang Malaysia, yang justru semakin mengurangi jatah berita BBM di halaman koran atau slot berita TV.



Ambalat: Agenda Politik Non-BBM
Mereduksi sengketa di Ambalat hanya sebagai pengalihan isu kenaikan BBM sejatinya dapat memalingkan nalar kita dari perspektif politik yang lebih besar. Setidaknya ada beberapa isu yang akan diurai:

Pertama, kaitan Ambalat dengan suksesi kepemimpinan di tubuh TNI. Kedua, agenda anggaran pertahanan dan belanja militer; dan ketiga, agenda politik di Aceh dan Papua. (acehkita.com)
Bagian 1/4 - Hotel Station, Kuala Lumpur, 16 Agustus 1945. Datuk Jaafar sudah membulatkan tekad. Di hadapannya, petinggi militer Jepang tengah menyodorkan dua opsi: Malaysia merdeka atau bergabung dengan Indonesia—yang baru keesokan harinya memproklamasikan diri.

Menurut Chin Peng dalam My Side History yang resensinya dimuat Kompas, 20 Maret 2004, Datuk Jaafar dan kawan-kawannya yang hadir pada pertemuan hari itu memilih bergabung dengan Indonesia.

Kok bisa?

Menurut Peng, inilah satu-satunya cara agar pasukan pendudukan Jepang tidak menggabungkan mereka dengan China.

"Proses penggabungan Malaya ke Indonesia baru saja akan diresmikan, ketika mendadak terdengar berita dari radio, Kaisar Hirohito menyerah kepada Sekutu. Mendengar hal ini, seluruh peserta pertemuan langsung bubar…" tulis Ian Ward dan Norma Miraflor yang merekam kesaksian Peng.
Ceritanya lalu menjadi lain. Malaysia menjadi negara merdeka pada 31 Agustus 1957 setelah Inggris–yang menerimanya dari Jepang—merestui kemerdekaan itu. Tunku Abdul Rahman menggelorakan darah 50.000 orang di Bandar Hilir dan mengumumkan kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang terkesan hibah dari London ini membuat Bung Karno tak enak hati. Apalagi bentuk federasi Malaysia terkepak hingga Sarawak yang berbatasan langsung dengan Borneo.

Keresahan Soekarno memuncak saat meletusnya pemberontakan di Brunei pada Desember 1962. Adalah AM Azahari, Ketua Partai Rakyat, partai terbesar di wilayah itu, yang berniat membentuk negara merdeka Kalimantan Utara, yang meliputi wilayah bekas jajahan Inggris. Gagasan ini membangkitkan kecurigaan Soekarno terhadap federasi Malaysia dan membuatnya serasa dikepung kekuatan neokolonialisme pro-kapitalisme (blok Barat).

Di tengah deru perang dingin, setelah pembunuhan atas diri John F Kennedy, sahabatnya, Soekarno memang berkiblat ke Moskwa, lalu ke Peking.

Bung Karno beranggapan, federalisme Malaysia adalah perpanjangan tangan neokolonialisme Inggris untuk mengepung Indonesia. "Saya akan mengganyang Malaysia sebelum matahari terbit tanggal 1 Januari 1965," teriak Bung Karno.

Itu bukan teriakan kosong. Sebab, Jakarta saat itu memang memiliki skondan di sejumlah wilayah di Malaysia. Mereka adalah para sukarelawan berhaluan komunis yang sebagian adalah warga keturunan China dan sudah mengangkat senjata melawan Inggris, jauh sebelum kelompok-kelompok komunis di Vietnam Selatan (Viet Cong), tersohor.

Tanggal 21 Juli 1964 meletus kerusuhan rasial di Singapura, yang menewaskan 23 orang dan melukai 400 lainnya. Saat itu juga, pasukan Indonesia di bawah Panglima Komando Tempur II Brigjen Soepardjo, melakukan serangan ke Pontian, Negara Bagian Johor dengan dukungan sukarelawan asal Malaysia keturunan Tiong Hoa.

"Penyerbuan tersebut mengalami kegagalan akibat terjadinya inefisiensi pada pasukan Indonesia, dilengkapi nasib baik di pihak pasukan Commonwealth (persemakmuran)," kata Peng.

Di sini, kisah para tentara Indonesia yang digantung menjadi dongeng horor dari generasi ke generasi.

Gagal dengan serangan pertama, tentara Indonesia kembali merangsek di Labis, juga wilayah Johor pada 2 September 1964. Saat itu, tak hanya fregat—seperti KRI KS Tubun yang disiagakan TNI AL di batas Ambalat—tapi juga kapal selam. Salah satu yang melegenda di kalangan TNI Angkatan Laut adalah kapal selam bernama RI Candrasa.

Mesin perang ini dilengkapi 6 peluncur torpedo dan meriam anti serangan udara berkaliber 25 mm laras kembar. Jumlah awaknya mencapai 61 orang yang terdiri dari 8 perwira, 12 bintara, 38 tamtama, dan 3 orang pegawai sipil. Kapal perang ini pensiun (disposed) pada tahun 1971 setelah mengabdi pada politik konfrontasi sejak 1962.

Tapi di saat yang sama, kerusuhan rasial kembali membakar Singapura. Wakil Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak menemui Lee Kuan Yew di Singapura, mewartakan bahwa dalang kerusuhan rasial di negeri Singa itu tak lain adalah Jakarta.

"Bagi saya, tuduhan semacam itu sekadar taktik para politikus yang selalu menempatkan kaum komunis sebagai kambing hitam dari segala macam peristiwa. Sama sekali pihak kami tidak terlibat peristiwa tersebut," kata Peng.

Peng memang orang Malaysia, tetapi buku-bukunya dilarang beredar di negaranya sendiri. Ideologi komunis yang lebih mondial dan tak terlalu hirau dengan batas-batas negara, mengesankan dirinya lebih pro-Jakarta daripada Kuala Lumpur.

Apalagi, Peng sendiri mengakui, politik konfrontasi yang dilancarkan Bung Karno telah menjadikan para gerilyawan komunis Malaysia, lebih kuat karena mempunyai kesempatan merekrut pasukan-pasukan baru. Puncak kekuatan mereka terjadi tahun 1968, ketika Partai Komunis Malaya (Communist Party of Malaya/CPM) memiliki 1.600 gerilyawan dan menikmati blessing in disguise (rahmat terselubung) dari agresifitas politik Soekarno.

Tapi kekuatan ini gembos setelah pemimpin Uni Soviet Nikita Khurshchev memutuskan tak akan membantu perjuangan bersenjata bagi kelompok komunis di negara lain. Di bawah Khurshchev dan Kennedy, hubungan dua adidaya, Amerika dan Soviet, memang digiring lebih hangat. Namun para pentolan militer garis keras menentangnya. Kennedy pun dibunuh.

Di saat yang sama, rejim Soekarno juga telah lengser dan digantikan barisan jenderal Angkatan Darat di bawah Letnan Jenderal Soeharto yang lebih pro-Barat dan sekaligus merekatkan poros ke Kuala Lumpur.

Selama masa perjuangan mengusir Inggris dari semenanjung, Chin Peng sendiri kehilangan hingga 5.000 gerilyawan. "Termasuk 200 orang, diantaranya sejumlah perempuan, telah dihukum gantung sampai mati. Inggris tidak pernah bersedia merinci jumlah korban tersebut dan juga tidak ada yang sampai sekarang ini berani menyebutnya pembunuh haus darah."



Malaysia sebagai Musuh Bersama
Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, sebenarnya konfrontasi dengan Malaysia masih dilanjutkan. Buktinya, pada 27 Maret 1966, Bung Karno menandatangani Keputusan Presiden No 62 yang mengangkat Jenderal AH Nasution sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganjang Malaysia (Wapangsar Kogam). Saking seriusnya dengan politik konfrontasi ini, Nasution diberikan kedudukan setingkat menteri.

Ini semakin menguatkan dugaan bahwa Bung Karno yang mulai tidak populer setelah G30S, menciptakan musuh bersama di luar untuk meredam gejolak di dalam negeri. "Suatu bangsa selalu memerlukan musuh," kata Bung Karno saat menyulut konfrontasi.

Memang politik konfrontasi digalakkan Soekarno pada 8 Januari 1963 setelah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio mengumumkannya secara resmi. Dan saat itu, posisi politiknya masih kuat menyusul kemenangannya di Irian Barat. Tetapi setelah 30 September 1965, hasrat berkonfrontasi dengan Malaysia sepertinya lebih untuk konsumsi dalam negeri daripada sebaliknya.

Soekarno menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat yang tak lagi loyal kepadanya. Dan dia percaya, dengan menciptakan musuh di luar, elemen-elemen ini akan terangsang kembali saraf “nasionalisme” nya. Tentu saja tafsir nasionalisme di sini adalah dukungan politik kepada Soekarno.

Sebab, menjual isu perang dengan Malaysia terbukti manjur untuk menyatukan elemen ideologis yang mulai terfragmentasi pasca-pembubaran Masyumi.

Rumekso Setyadi dan Saiful H Shodiq dari Syarikat Indonesia menulis, mobilisasi ganyang Malaysia telah menyatukan elemen komunis (PKI) dan Islam (Nahdatul Ulama) dalam bentuk latihan-latihan bersama kemiliteran di beberapa pusat pelatihan atau yang saat itu populer dengan sebutan training center (TC).

“Pemuda Rakyat juga mengadakan TC di Kota Gede dan Cebongan dengan instruktur dari Korem 072 dan Kodim Yogyakarta... Pemuda Ansor juga terlibat sebagai peserta dalam TC di Cebongan Sleman,” tulis mereka.

Menelusuri Sejarah Perang Salib


Baca Juga : Kilas balik Perang Salib


Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi

“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.



Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.



Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.

Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.

Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* (Agung Pribadi, Pambudi/Hidayatullah) Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.

Kuil Sulaiman, Alasan Penghancuran Masjidil Aqsha


Manusia selalu mencari masa depan cerah yang dapat memperbaiki kondisi kehidupannya. Akan tetapi ketidakadilan dan kekacauan yang ada dalam kehidupan dunia sering menjadi kendala bagi terwujudnya prospek yang diimpikan. Perang, pendudukan, penjajahan dan kejahatan merupakan contoh kendala besar yang menghalangi manusia untuk dapat mewujudkan cita-citanya.

Sejak lebih dari setengah abad lalu, khususnya dalam tempo empat tahun terakhir, sejak meletusnya intifada Masjidul Aqsha, orang-orang Zionis membantai rakyat Palestina, menghancurkan rumah dan ladang mereka serta merampas tanah miliki mereka. Lebih menyakitkan lagi, media massa Barat dengan sekuat tenaga menutupi kejahatan tersebut.

Kaum Zionis yang dalam hal ini diwakili oleh rezim zionis Israel tidak hanya melakukan kesewernang-wenangan terhadap rakyat Palestina saja, tetapi juga terhadap sejarah dan tempat-tempat suci mereka. Masjidul Aqsha merupakan salah satu contoh yang paling nyata dalam hal ini. Masjid yang amat diagungkan oleh umat Islam ini kini berada di dalam cengkeraman kaum Zionis yang sewaktu-waktu siap untuk menghancurkannya. Masjidul Aqsha adalah simbol ketertindasan dan resistensi bangsa Palestina.

Kota Beitul Maqdis atau Jerussalem, tempat Masjidul Aqsha berada, adalah kota yang amat dihormati oleh penganut tiga agama sawami, Islam, Kristen dan Yahudi. Bagi umat Islam, Masjidul Aqsha adalah kiblat pertama dan tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan mikraj ke langit. Di sini pulalah, sejumlah nabi dimakamkan. Al-Qur’an Al-Karim dalam ayat pertama surah Al-Isra menyatakan bahwa Allah telah memberkati sekitar masjid ini. Mikraj Nabi atau perjalanan beliau ke langit yang dimulai dari masjid ini merupakan peristiwa yang paling bersejarah bagi umat Islam.

Hanya selang beberapa tahun setelah wafatnya Nabi SAW, umat Islam berhasil merebut kota Beitul Maqdis dari tangan imperium Rumawi tanpa melalui pertumpahan darah. Kini, dengan jatuhnya kota ini ke tangan kaum Zionis, Masjidul Aqsha yang amat dihormati oleh umat Islam, berada dalam ancaman. Sebab, tak tertutupkemungkina, orang-orang Zionis akan menghancurkan masjid ini dengan alasan bahwa masjidul Aqsha dibangun di atas lokasi bekas Kuil Sulaiman.

Kuil Sulaiman diyakini sebagai tempat ibadah bani Israil yang dibangun tahun 960 sebelum masehi oleh Nabi Sulaiman as. Akan tetapi 370 tahun setelah itu, tempat ibadah ini dihancurkan oleh bangsa Babilonia yang melakukan ekspansi ke sana. Menyusul kekalahan bangsa Babilonia dari tentara Persia yang dipimpin oleh Cyrus, Kuil Sulaiman kembali dibangun. Tahun 70 Masehi tentara Rumawi menyerang kota Jerussalem dan meratakan tempat ibadah umat yahudi tersebut dengan tanah. Tentara Rumawi tidak menyisakan bekas apapun dari tempat ibadah yang amat diagungkan oleh bani Israil ini.

Sekitar saatu abad yang lalu, ketika faham zionisme mulai muncul, para pendukung zionisme mengklaim bahwa masjidul Aqsha dibangun di atas lokasi Kuil Sulaiman. Setelah terbentuknya rezim Zionis Israel di negeri Palestina tahun 1948 yang disusul dengan pendudukan atas kota Beitul Maqdis tahun 1967, kaum Zionis semakin gencar melakuan upaya pengerusakan Masjidul Aqsha untuk mendirikan Kuil Sulaiman di lokasi itu.

Menurut kepercayaan kaum Zionis, lokasi Masjidul Aqsha adalah pusat dari negeri Palestina. Untuk itu, dengan menghancurkan masjid ini dan mendirikan Kuil Sulaiman di atas lokasi itu, akan tercipta imipian kaum Zionis. Tak diragukan bahwa agama Yahudi telah mengalami perubahan dan pendistorsian sepanjang sejarah. Dan sekarang, agama yang telah disimpangkan ini dimanfaatkan oleh kaum Zionis untuk mengejar tujuan dan kepentingan mereka. Masalah pembentukan sebuah pemerintahan Yahudi dan kepulangan umat Yahudi ke negeri Palestina yang dijanjikan, merupakan salah satu contoh nyata dalam masalah ini. Padahal tidak sedikit pengikut agama Yahudi dan rabi mereka yang menentang berdirinya rezim Zionis di negeri Palestina.

Menyangkut soal pembangunan Kuil Sulaiman, ada friski tajam antara para pengikut agama Yahudi dengan kaum Zionis ekstrem. Umat Yahudi umumnya meyakini bahwa Kuil Sulaiman akan dibangun kembali oleh Messiah yang kelak akan datang untuk memenuhi bumi dengan keadilan. Sementara kaum Zionis bersikeras untuk mendirikan Kuil ini sebelum kedatangan Messiah.

Mengenai Kuil Sulaiman, banyak ahli sejarah yang meyakini bahwa lokasi rumah ibadah umat Yahudi ini berada di luar komplek Masjidul Aqsha. Karenanya, jika orang-orang Zionis bersikeras mendirikan kuil sUlaiman, semestinya mereka mendirikannya di lokasinya. Akan tetapi, kelompok ekstrem Zionis tetap menunjuk lokasi Masjidul sebagai lokasi Kuil Sulaiman.

Sejak menduduki Beitul Maqdis tahun 1967, orang-orang Zionis telah berkali-kali melakukan upaya penghancuran Masjidul Aqsha, yang salah satunya adalah pembakaran masjid ini tahun 1969. Untuk mencegah kemarahan umat Islam sedunia dan kutukan masyarakat internasional, rezim Zionis mengesankan bahwa aksi pembakaran dilakukan oleh seorang Yahudi ekstrem. Orang yang dituduh sebagai pelaku pembakaran itu dibebaskan setelah melalui proses persidangan yang direkayasa.

Setelah peristiwa itu, rezim Zionis Israel sering mengungkapkan adanya kelompok-kelompok yahudi ekstrem yang berusaha menghancurkan masjidul Aqsha. Mereka berulang kali menyerang masjid ini. Secara terorganisir, mereka juga melakukan penggalian di bawah lokasi masjid dengan alasan untuk melakukan riset arkeologi dan mencari sisa-sisa peninggalan Kuil Sulaiman. Pernah juga mereka mengalirkan air di sepanjang galian di bawah masjid untuk menggoyahkan pondasinya. Akibatnya, dinding-dinding Masjidul Aqsha retak dan menurut para pengamat, dengan gempa yang relatif kecilpun kemungkinan masjid yang memiliki nilai kesucian dan sejarah yang tinggi ini akan roboh. Pengerusakan dengan cara ini diharapkan dapat meredam kemarahan umat Islam.

Tak dipungkiri bahwa rezim Israel mendukung dan menyujui aksi pengerusakan masjidul Aqsha oleh orang-orang Zionis ekstrem. Akan tetapi, untuk mengelabuhi opini umum dunia, khususnya umat Islam, rezim Tel Aviv menyatakan menentang tindakan ekstrem tersebut. Beberapa bulan lalu, Menteri Keamanan dalam negeri Israel, menyatakan bahwa sekelompok orang Yahudi ekstrem berniat menghancurkan masjidul Aqsha menggunakan pesawat tanpa awak atau melalui sebuah operasi bunuh diri. Operasi itu akan dilakukan ketika jemaah shalat memenuhi masjid tersebut.

Dengan pernyataan ini, rezim Tel Aviv berusaha mengesankan bahwa segala bentuk aksi pengerusakan masjidul Aqsha tidak ada kaitannya dengan pemerintah Israel, sebab dilakukan oleh orang-orang ekstrem. Padahal, selama ini rezim Zionis telah melakukan berbagai tindakan yang bis dikategorikan sebagai upaya penghancuran masjidul Aqsha, diantaranya adalah pelarangan warga Palestina untuk memasuki masjid itu, Judaisasi kota Beitul Maqdis, pengusiran umat Islam dari kota ini, pembanguan dinding pemisah di kota ini dan pelarangan untuk merenovasi Masjidul Aqsha.

Untuk melegalisasi tindakan perusakan masjidul Aqsha, kelompok-kelompok Yahudi ekstrem meminta surat izin dari pengadilan Israel. Padahal, ketidak legalan rezim ini sudah dapat menjadi bukti akan ketidakabsahan segala bentuk keputusan pengadilannya. Mahkamah tinggi rezim Zionis yang selama ini berusaha mengesankan kenetralan dalam masalah agama, telah mengeluarkan keputusan yang secara tidak langsung mendukung penghancuran Masjidul Aqsha sedikit demi sedikit.

Tahun 1983, mahkamah Tinggi Israel mengeluarkan keputusan yang mengijinkan umat Yahudi menjalankan ibadah di pintu Babul Magharibah yang berada di luar komplek Masjidul Aqsha. Tahun 1999, Mahkamah ini mengeluarkan keputusan baru yang mengizinkan warga Yahudi beribadah di halaman Masjidul Aqsha. Pada tahun 2001, Mahkamah Israel mengijinkan umat Yahudi untuk meletakkan batu pondasi untuk pembangunan Kuil Sulaiman di Babul Magharibah.

Dengan keputusan ini berarti mahkamah Tinggi Israel mengizinkan kelompok Yahudi ekstrem untuk memisahkan sebagian besar lokasi dari Masjidul Aqsha untuk keperluan pembangunan Kuil Sulaiman. Saat ini, kaum Zionis sedang membangun sebuah rumah ibadah bersebelahan dengan tembok Buraq atau Nudbah di Masjidul Aqsha.

Beberapa waktu lalu, Presiden rezim Zionis Israel, Moshe Katsav, mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Vatikan yang isinya meminta Vatikan untuk menyerahkan harta peninggalan bekas Kuil Sulaiman yang berada di tangan Paus kepada Israel. Sebab menurut keyakinan kaum Zionis, kekayaan yang ada di dalam Kuil Sulaiman itu pada tahun 70 Masehi diboyong oleh tentara Rumawi ke Vatikan.

Satu langkah lagi yang dilakukan oleh kelompok ekstrem Yahudi untuk menghancurkan Masjidul Aqsha adalah mencari sapi yang berbulu merah. Menurut kepercayaan mereka, sebelum membangun Kuil Sulaiman, terlebih dahulu mereka harus menyembelih dan membakar sapi berusia 3 tahun yang berbulu merah dan belum pernah melahirkan anak.

Tahun 1997, anak sapi dengan ciri-ciri seperti ini lahir melalui proses perbaikan genetik. Hanya saja mereka menghadapi masalah. Sebab, menurut kepercayaan khufarat ini, sapi itu harus disembelih di kaki gunung zaitun yang saat ini berada dalam kekuasaan pemerintah otonomi Palestina. Karenanya, dalam beberapa tahun terakhir, rezim Zionis berusaha untuk mengosongkan kawasan ini dari orang-orang non Yahudi.

Salah satu hal yang menarik dalam proses penghancuran Masjidul Aqsha adalah kerjasama yang dilakukan orang-orang kristen zionis dengan kaum yahudi Zionis. Kristen Zionis adalah kelompok pengikut agam kristen yang memiliki kepercayaan dan pemikiran yang mirip dengan orang-orang Zionis. Mereka juga meyakini bahwa di akhir zaman, Yesus akan kembali di dunia. Untuk menyongsong kedatangan Yesus, Masjidul Aqsha harus dihancurkan dan Kuil Sulaiman harus dibangun di lokasi itu. Kesamaan pandangan inilah yang mendorong dua kelompok dari dua agama berbeda ini saling bekerjasama untuk menghancurkan Masjidul Aqsha.

Aksi perusakan Masjidul Aqsha itu terus berjalan, dan kini, tindakan perusakan yang dilakukan secara langsung oleh kelompok-kelompok Zionis esktrem telah sampai di tahap yang sangat berbahaya. Meski penggalian terowongan di lokasi ini terus berjalan, namun sampai saat ini, kaum Zionis masih belum memperoleh satupun bukti yang menunjukkan bahwa masjid ini dibangun di atas lokasi Kuil Sulaiman, seperti yang mereka klaim selama ini.

Seandainya pun klaim mereka benar dan Masjidul Aqsha dibangun di atas lokasi bekas Kuil Sulaiman, tentunya tidak logis jika hal ini dijadikan alasan untuk menghancurkan bangunan rumah ibadah umat lain yang masih tegak berdiri, apalagi jika rumah ibadah ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Parahnya, kaum Zionis hanya mengantongi spekulasi dan perkiraan semata tanpa dukngan bukti sejarah yang kuat. Hal ini menunjukkan betapa orang-orang Zionis menutup logika untuk mengejar kepentingannya. Dengan mengantongi lampu hijau dan dukungan AS, kaum Zionis terus melanjutkan aksi perusakan terhadap rumah ibadah yang dihormati oleh 1,5 milyar umat Islam itu.

Dari sisi hukum internasional, penghancuran Masjidul Aqsha juga tidak bisa dibenarkan. Sebab, berdasarkan undang-undang internasional, rezim Zionis Israel berkewajiban melindungi masjid ini. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 242 dan beberapa resolusi PBB lainnya menuntut rezim Tel Aviv untuk mundur dari seluruh wilayah Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, dan menyerahkan wilayah itu kepada penduduk aslinya yang tak lain adalah rakyat Palestina. Akan tetapi nampaknya, resolusi PBB hanya dijalankan terhadap negara-negara yang tidak sejalan dengan Barat. Sedangkan untuk Israel yang mendapat dukungan dan perlindungan AS dan Barat, puluhan resolusi PBB akan dianggap bagai angin lalu.

Meski aksi penghancuran Masjidul Aqsha telah memicu protes dan kecaman dunia Islam dan masyarakat internasional, akan tetapi, aksi ini tidak akan berhenti, mengingat Israel telah mengantongi dukungan mutlak Barat, khususnya dari AS, dan memperoleh izin untuk melakukan apa saja. Jika tindakan orang-orang Zionis ini benar-benar berujung pada penghancuran total Masjidul Aqsha, tidak ada lagi tindakan yang bisa dilakukan.

Saat ini masih ada kesempatan bagi umat Islam untuk melindungi kiblat pertama mereka dan tempat mikraj Nabi. Umat Islam harus bersatu untuk menghadapi arogansi rezim Zionis dan para pendukungnya. Umat Islam memiliki kekuatan besar yang selama ini mereka lupakan. Dengan bersatu, kekuatan dan kepercayaan diri itu akan mereka raih kembali. Sejarah beberapa puluh tahun terakhir ini telah membuktikan bahwa PBB dan pihak manapun juga tidak akan bisa menghentikan aksi perusakan Masjidul Aqsha oleh kaum Zionis. Masjidul Aqsha hanya bisa diselematkan oleh umat Islam, dan mereka inilah yang harus berbuat sesuatu. (Irib)

BACA LINK VERSI KRISTEN YAHUDI:
- http://www.templemount.org/solomon.html
- http://phoenicia.org/temple.html
- http://home.earthlink.net/~tonybadillo/
- http://www.solomonstemple.com/org/page1.html
- http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/The_Temple.html
- http://www.mystae.com/restricted/streams/scripts/solomon.html
- http://occult-advances.org/temple.shtml
- http://skullandcrossbones.org/articles/solomontemple/solomontemple2.htm
- http://www.masonichavens.ie/temple/temple.htm

Kilas Balik Perang Salib


Oleh: prof.ismail.jamil@gmail.com
Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim).

Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi. Rasulullah Saw mendapat informasi dari Allah SWT serta beberapa perintah sebagai berikut:

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-Baqarah [2]: 190)

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Qs. al-Baqarah [2]: 193).

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 75).

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. al-Anfaal [8]: 60).

Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan permusuhan; (3) demi membela yang tertindas –tanpa melihat agama mereka.

Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.

Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs. al-Baqarah [2]: 120).

Namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita, sampai kiamat tiba.




Fakta-fakta Perang Salib
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan. *1)

Kesulitan lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.

Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing.
Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:

Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.

Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh Khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang Khalifah jika lembaga Khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan Khalifah jika ummat yang dipimpinnya tewas semua? (Qs. Ali-Imran [3]: 169).

1096 – serangan salib pertama diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.

Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.

Pada serangan salib kedua (1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam, karena memang kekufuran sebenarnya musuh seluruh manusia –hanya saja ummat Islam adalah penghalang terbesar bagi kekufuran itu.

Serangan salib ketiga (1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.

Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.

Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.

Serangan salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.

Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.

Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.

Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah ummat Islam selanjutnya.

Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi (Qs. al-An’aam [6]: 39).

Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.



Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan” menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu mengherankan lagi.



Analisis Perang Salib
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah (Qs. Ali-Imran [3]: 165):


Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Ummat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap ummat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.


Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.


Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.


Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.


Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.


Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:


Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.

Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.

Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.

Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.




Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”

Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat*2), yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.

Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.



Menghadapi Perang Salib Baru
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib –apapun motif sesungguhnya– selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus memikul amanah al-Qur’an untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.

Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai “penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.

Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, ummat Islam sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad 11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari Barat.

Faktanya, sekarang dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang membebek pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.

Kalau demikian apa yang dicemaskan Barat?

Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.

Dan tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.

Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.

Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para nabi.

Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun demikian, setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat Islam masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu tidak pernah menjadi muslim kembali.

Karena itu, seandainya perang salib terjadi lagi, maka model yang paling masuk akal adalah model inquisisi. Ummat Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup menjadikan mereka sekuler, yang masih berpotensi untuk bangkit kembali.

Untuk itu ditempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakah-harakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun yang sulit diajak “kerjasama” akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya.

Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk membiayai penyesatan opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang mendukung mereka (seperti JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby penguasa atau tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka -sadar ataupun tidak, dan bila perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya –baik sadar ataupun tidak bahwa mereka dimanfaatkan.

Menjawab konspirasi ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam selain lebih merapatkan barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk secepatnya menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini yang akan sanggup menahan “perang salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi jihad fii sabilillah, untuk membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul. ( hayatulislam.net )



Catatan Kaki:
1. Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan Armanus Raja Romawi terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai 200.000 personil kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil! Tampak angka ini terlalu dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.

2. Pada tentara salib bahkan terdapat suatu “corps pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan salib yang berbulan-bulan jauh dari keluarga.



Referensi:


Imam AS-SUYUTHI (1498): Tarikh Khulafa’. (penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.


IBNU KHALDUN (1332–1406): Muqaddimah. (penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
Muhammad Sayyid AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.


Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.


Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.


Franklin H. LITTELL (1976): Atlas zur Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas History of Christianity). New York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe - Brockhaus Verlag, 1989.


Werner STEIN (1979): Der grosse Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.